Selasa 22 Sep 2020 07:42 WIB

Mengenal Konflik Etnik Melayu Muslim di Thailand Selatan

Dinamika konflik di wilayah Muslim Pattani tergantung respons pemerintah Thailand

 Anak-anak mengamati bangunan sekolah yang hangus dibakar di Provinsi Pattani, Thailand, Ahad (12/10). (REUTERS/Surapan Boonthanom)

Menurut pendekatan instrumentalisme, konflik etnik terjadi karena adanya wirausahawan politik yang menggunakan identitas etnik sebagai basis mobilisasi atau fault-line untuk mencapai kepentingannya (Fearon 2004). Secara eksplisit Varshney menyebutkan bahwa “conflicts take place because leaders strategically manipulate ethnicity for the sake of political power, or for extracting resources from the state (Varshney 2009, p.282).

Chandra mendefinisikan identitas etnis sebagai segala identitas yang bersifat sticky dan visible atau atribut turun-menurun ‘descent-based attributes’ (Chandra 2006, p.414). Sticky artinya identitas yang berasal dari nenek moyang dan akan sulit diubah dalam jangka waktu yang pendek, dan sebaliknya, identitas yang tidak bersifat turunan akan dengan mudah diubah (p.415). Sedangkan visible artinya atribut identitas tersebut dapat dengan mudah dikenali baik dari nama, bentuk tubuh, maupun pakaian (p.416).

Fearon (1999) menjelaskan alasan pemilihan identitas etnik sebagai basis mobilisasi karena identitas yang tetap atau turun temurun, mampu membentuk dan mengunci “minimum winning coalition” dalam kompetisi memperebutkan sumber daya politik. Dalam kasus ini, identitas etnik Melayu dan Muslim merupakan identitas yang sticky dan visible karena merupakan identitas turun-temurun sejak Kerajaan Patani berdiri.

Terdapat tiga alasan mengapa konflik kekerasan di Thailand Selatan ini adalah konflik kepentingan elit lokal. Ketiga penjelasan tersebut juga secara tidak langsung menumbangkan argumen primordialis mengenai “ancient hatred” dengan ganti otonomi lokal.

Pertama, kebencian dan pemberontakan ini diluncurkan oleh elit-elit lokal. Pada proses inkorporasi Kerajaan Patani ke dalam Kerajaan Siam, Kerajaan Siam mengganti elit tradisional dengan pejabat sipil yang berasal dari Kerajaan Siam yang dianggap loyal. Terlebih lagi, Kerajaan Patani yang pada awalnya satu, kemudian dibagi menjadi tiga provinsi yang semakin melemahkan otoritas tradisional.

Kedua, pemimpin pemberontak berasal dari kelompok elit lokal yaitu aktor yang saling menopang mengingat Islam merupakan identitas dari Kerajaan Patani. Dengan adanya kebijakan asimilasi, maka tak hanya kekuatan Sultan Patani diperkecil, namun masyarakat Muslim Patani juga terdampak akibat hilangnya kebebasan beragama Islam, berbahasa melayu, dan mempunyai sistem pendidikan dengan sharia Islam.

Ketika Pemerintah Thailand mulai menerapkan kebijakan asimilasi dan sentralisasi, elit dari Patani yaitu Tengku Mahmud Mahyiddeen memimpin GAMPAR (Gabungan Melayu Pattani Raya) tahun 1940 melawan Pemerintah Thailand; Tengku Abdul Jalal, melobi pemerintah Inggris untuk bergabung dengan Malaysia; Tengku Bira Kotanila mendirikan PULO; Haji Abdul Karim Hassan pendiri Barisan Revolusi Nasional; dan New Pulo didirikan oleh Arong Mooreng dan Haji Abdul Rohman Bazo (Harish 2006, pp. 52-3).

Ketiga, pemberian otonomi kepada elit mampu menekan secara signifikan konflik kekerasan pada tahun 1980-1999 pada masa Perdana Menteri Prem Tinsulanonda. Dua program yang berhasil menurunkan angka kekerasan etnik adalah pembentukan Southern Borders Provinces Administrative Center (SBPAC) yang memungkinkan elit-elit lokal mengatur administrasinya sendiri dan menjaga budaya di Thailand Selatan.

Program kedua adalah Civil-Police-Military Patrol (CPM-43) yang berfungsi sebagai kontrol keamanan agar tidak terjadi extra judicial killing. Tahun 1990-an, Muslim menjadi mayoritas pemegang kekuasaan di majelis legislatif provinsi di Thailand Selatan dan menjadi Mayor disetiap kota madya sehingga terdapat perpecahan di kelompok pemberontak antara BRN dan PULO (Melvin 2007, p.29).

Konflik muncul lagi pada tahun 2004 sebagai hasil kebijakan Thaksin Sinawatra yang menghapuskan SBPAC dan CPM-43, dan malah mendeklarasikan status Darurat Operasi Militer tahun 2005 di Thailand Selatan (Council on Foreign Relations, 2008). Penghapusan kedua institusi tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan politik dari Thaksin beserta partainya yang mencoba mengganti dominasi Partai Demokrat dengan mendeklarasikan bahwa konflik di Thailand Selatan bukanlah masalah politis namun masalah kriminalitas dan keamanan (Croissant 2007, p.9).

Proses perlawanan elit-elit lokal atau cara memobilisasi massa dapat dijelaskan dengan pendekatan konstruktivisme dengan pemilihan identitas yang mencolok ‘salient’ ‘master cleavage’ dari berbagai identitas yang ada yang kemudian dimasuki oleh ‘master narative’ untuk membakar semangat dan kebencian (Varshney 2009, p. 287). Posner menjelaskan pemilihan identitas yang mencolok ini lebih mudah didapat bila identitas yang dipilih relatif sama atau lebih besar daripada wilayah dan total populasi di tempat terjadinya kontestasi politik (2004). Terdapat 80% Muslim tinggal di ketiga provinsi di Thailand Selatan dibandingkan Buddha yang hanya 22%. Dari total penduduk 2,777,542, 75% adalah etnis melayu (Nurakkate 2012, p.4). Dengan data ini, maka identitas Melayu-Muslim merupakan identitas mayoritas.

Merujuk pada tulisan Panggabean, yaitu bukan perbedaan identitaslah yang menyebabkan konflik namun konflik lah yang mempertegas adanya perbedaan etnik tersebut (Panggabean 2018, p. xxv). Setidaknya terdapat dua contoh fenomena yang menjadi basis penguatan identitas Melayu dan Muslim: (1) proses asimilasi yang berwujud pelarangan bahasa Patani dan agama Islam telah memberikan kesan bahwa keberlangsungan umat Islam di Patani terancam; dan (2) adanya penembakan 150 umat muslim di Masjid Kru Se dan penangkapan demonstran Muslim pada protes di Kantor Polisi Tak Bai (Engvall and Magnus 2014, p. 129). Penguatan identitas agama ini dicerminkan melalui penggunaan atribut keagaman dalam pergerakan mereka dan ideologi yang diusungnya. Sebagai contoh, Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP) diubah menjadi Barisan Islam Pembebasan Patani, dan tahun 1995 dibentuk Patani Islamic Mujahedeen Movement oleh Muslim relawan perang Afghanistan (Melvin 2007, p.22).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement