REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Di beberapa negara Eropa, banyak kasus penyuntikan protein babi ke dalam daging ayam untuk menambah berat dan meningkatkan keuntungan. Buya Hamka pernah berpendapat, bahwa kalau kita di luar negeri dan terpaksa harus mengkonsumsi ayam atau sapi yang tidak diketahui cara menyembelihnya, maka cukup dengan membaca basmalah dan bertawakal kepada Allah. Hal itu hanya berlaku bagi hewan halal, seperti sapi atau ayam, tidak untuk babi.
Namun barangkali, jika mengetahui berbagai fakta mutakhir tentang daging sapi dan ayam yang diinjeksi dan dicampur dengan protein babi, Buya Hamka mungkin akan berpendapat lain. Kasus yang terjadi di Inggris dan Amerika membuat kita terhenyak, apakah kita cukup percaya ketika pada kemasan daging sapi mengklaim bahwa daging tersebut adalah daging sapi? Mungkin kita menganggap bahwa negara maju seperti Inggris dan Amerika tidak mungkin melalukan tindakan yang bisa dianggap sebagai penipuan. Apalagi jika dikaitkan dengan tingkat kesadaran hukum yang konon dikatakan cukup tinggi di kalangan masyarakatnya.
Kebanyakan daging yang diperjualbelikan di Amerika saat ini mengandung bahan pengisi (filler). Bahan pengisi yang sering digunakan adalah hasil samping dari babi dan bahan-bahan kimia. Filler ini digunakan sebagai komponen flavor atau sebagai substitusi protein untuk produk-produk yang bukan babi dengan tujuan agar harga jualnya dapat lebih rendah dan memiliki rasa yang lebih baik.
Dalam sebuah jurnal FDA (Food and Drug Administration), lembaga pengawas obat dan makanan di Amerika itu telah membuktikan bahwa daging kemasan yang dijual mengandung filler. Merekapun menyetujui penggunaan filler tersebut sampai dengan batas 5 %. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 20 % protein babi pada daging sapi giling.
Rumah potong hewan (RPH) juga menggunakan cantelan daging yang sama untuk menggantung daging sapi dan daging babi. Karena waktu produksi yang sangat ketat, sehingga tidak ada kesempatan untuk mencuci atau membersihkan cantelan daging tersebut dari residu babi saat akan digunakan untuk sapi. Paling tidak sekitar 5 % babi dapat terdeteksi pada daging yang diyakini konsumen sebagai daging sapi.
Secara keseluruhan ketika seseorang membeli daging sapi, pada kenyataannya daging yang dibeli tersebut kemungkinan besar mengandung sekitar 5 hingga 25 % babi. Jadi jika konsumen Muslim membeli daging sapi atau ayam bukan di toko yang menjual daging halal, maka sesungguhnya ia tidak pernah membeli 100 % daging sapi giling, seperti apa yang disangka.
Ada laporan dari BBC News, ayam yang diimpor dari Belanda ke Inggris ditemukan terkontaminasi dengan daging sapi dan babi. Parahnya lagi, produk yang terkontaminasi ini dilabel sebagai produk halal. Sebuah media mengklaim The Food Standards Agency (FSA) seharusnya tidak menunda untuk mengeluarkan hasil tes terakhir pada produk ayam yang terkontaminasi tersebut. Pihak FSA agak khawatir untuk mengeluarkan berita itu segera karena publikasi tersebut akan menimbulkan kepanikan di antara komunitas etnis minoritas. Umat Hindu tidak mengkonsumsi sapi dan Muslim tidak mengkonsumsi babi.
Uji yang telah dilakukan oleh lembaga tersebut (tahun 2001) mengidentifikasi adanya babi pada produk ayam. Kemudian Food Safety Authority Ireland (FSAI) pada tahun 2002 juga mendeteksi adanya protein sapi pada ayam yang diimpor dari Belanda. Ada suatu dugaan bahwa uji terakhir yang dilakukan oleh FSA mengindikasikan bahwa ayam yang diimpor dari Belanda pun mengandung protein babi terhidrolisa dari hewan yang sudah tua atau bagian lainnya seperti kulit, kulit jangat, dan tulang. Bagian-bagian tersebut ditambahkan air lalu diinjeksikan ke dalam daging ayam. Hasilnya, daging ayam itu menjadi lebih besar dan bobotnya bertambah sekitar 40 persen.
Produk tersebut memiliki dua aspek ilegal. Pertama, produk tersebut telah dilabel sebagai produk halal, padahal mengandung protein babi. Kedua, karena juga mengandung protein sapi, maka ada kemungkinan tercemar BSE yang bersumber dari protein sapi yang diinjeksikan tersebut. Menanggapi hal tersebut, Professor Harriet Kimbell dari komite penasihat pemerintah untuk kasus BSE mengatakan, tindakan tersebut adalah tindakan amoral dari produsen untuk konsumen. Konsumen dengan sengaja memilih produk ayam yang dilabel halal untuk alasan agama dan keamanan, namun malah mengkonsumsi ayam yang tercemar produk haram, dan bahkan bisa jadi tidak thayyib, jika tercemar BSE. Jadi sebagai konsumen Muslim, apalagi saat bepergian ke luar negeri, berhati-hatilah.
*Artikel ini telah dimuat di Harian Republka, Jumat, 03 Juni 2005