REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum diajak melihat bahan-bahan dan proses produksi vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan PT Bio Farma (Persero) bersama perusahaan farmasi asal Cina, Sinovac. Meski belum ada pembicaraan kapan akan melakukan audit vaksin, Komisi Fatwa MUI menyampaikan bahwa ada dua kemungkinan tentang vaksin Covid-19.
Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Hasanuddin AF menyampaikan, kalau jelas vaksin Covid-19 menggunakan bahan-bahan halal dan proses produksinya tidak mengandung unsur haram, maka sudah pasti Komisi Fatwa MUI menghalalkannya. Tapi kalau ternyata ada unsur haram baik dalam bahan maupun proses produksinya, maka vaksin Covid-19 akan diharamkan.
"Cuma kalau dalam keadaan mendesak begini bisa jadi (fatwa vaksin Covid-19) seperti fatwa tentang vaksin Measles Rubella (MR) kemarin (untuk penangkal) campak dan rubella," kata Kiai Hasanuddin saat dihubungi Republika, Selasa (6/10).
Ia menjelaskan, ternyata setelah diaudit LPPOM MUI dan dilaporkan ke Komisi Fatwa MUI, vaksin MR mengandung unsur babi. Maka Komisi Fatwa MUI mengharamkan vaksin MR, tapi masyarakat menjadi gaduh.
Pada akhirnya Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa bahwa vaksin MR adalah haram tapi boleh digunakan karena alasan darurat. Artinya boleh digunakan sementara sebelum ada vaksin MR yang halal.
"Vaksin Covid-19 juga ada dua kemungkinan, (pertama) ada kemungkinan kita halalkan kalau bahan dan proses produksinya tidak ada unsur haram," ujarnya.
Kiai Hasanuddin mengatakan, kemungkinan kedua, kalau ada unsur haram baik bahan maupun proses produksinya, maka Komisi Fatwa MUI akan mengharamkannya. Namun yang haram itu boleh digunakan dalam keadaan darurat, sebelum ada vaksin Covid-19 yang halal.
Ia juga menyampaikan, Komisi Fatwa MUI belum melakukan apapun terhadap vaksin Covid-19, karena harus ke Cina untuk melihat bahannya dan proses produksinya. Komisi Fatwa MUI juga mengaku belum ada pembicaraan apapun terkait kapan melakukan audit bahan dan proses produksi vaksin Covid-19.