REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pada revisi Pasal 29 UU JPH pada RUU Ciptaker, dituliskan bahwa jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dalam waktu paling lama satu hari kerja. Demikian juga pada revisi Pasal 30 UU JPH, jangka waktu penetapan LPH pemeriksa kehalalan produk tertentu dipangkas dari lima hari kerja pada UU JPH menjadi satu hari kerja.
Pada revisi Pasal 31 UU JPH dalam RUU Ciptaker, pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan auditor halal, paling lama 15 hari kerja. Ketentuan ini tak ada pada pasal yang sama dalam UU JPH.
Sementara pada revisi Pasal 42 UU JPH dalam UU Ciptaker, pengakuan perpanjangan sertifikat halal bisa jadi tak memerlukan pemeriksaan dan pengujian ulang. Pasal 42 ayat 3 itu, diatur dalam RUU Ciptaker, berbunyi "Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal."
CEO Halal Corner, Aisha Maharani mengaku mempertanyakan pemahaman para perumus undang-undang, yang menurutnya tidak memahami situasi di lapangan. Aisha mengatakan, batasan waktu yang tertera dalam UU Ciptaker untuk sertifikasi halal sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Tenggang waktu yang sangat singkat, kata Aisha tidak sejalan dengan variasi pelaku usaha yang juga perlu dipertimbangkan. Ditambah lagi jika komposisi bahan yang digunakan merupakan barang impor yang belum bersertifikasi halal.
"Ini yang nulis pasal paham tidak ya?! Saya sudah 11 tahun bekerja di LPPOM MUI, dan jika bahan yang perlu diuji adalah bahan impor, dan bahan itu belum mendapat sertifikasi halal, maka diperlukan lampiran dokumen dari suplier, lalu ke produsen, itu juga kalau langsung dikasih. Apa bisa dilakukan dalam tiga hari? tidak bisa! satu minggu saja sudah paling cepat! rata-rata itu tiga minggu. Lalu kalau diatur paling lambat 15 hari? ya tidak mungkin!" tegasnya.
Diperlukannya proses laboratorium, untuk menguji kandungan dalam bentuk cair, juga memerlukan proses yang lebih panjang, kata Aisha. Pemeriksaan dan verifikasi bahan yang teliti, kata dia, juga tidak mungkin dilakukan dalam sekejap.
"Itu prosesnya bukan satu dua hari! apalagi prosesnya harus jeli, agar konsumen mendapat kepastian bahwa produk yang diujikan ini benar-benar tidak mengandung bahan haram dan najis," ujarnya.
Selain itu, ketergesa-gesaan proses verifikasi produk juga akan mengurangi kualitas sertifikasi halal itu sendiri, katanya. Ketentuan dalam revisi Pasal 31 UU JPH dalam RUU Ciptaker, yang menyebutkan, pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan auditor halal, paling lama 15 hari kerja, yang jika telat akan langsung diambil alih oleh BPJPH, kata Aisha juga menyalahi peraturan yang berlaku.
"Jadi karena peraturan regulasi yang tergesa-gesa, padahal proses pengujiannya belum sempurna, tapi sudah diberikan sertifikasi, tentu ini menyalahi rules yang ada dan menimbulkan syubhat," ujarnya. "Terlebih jika saat proses audit belum selesai tapi sudah jatuh tempo, lalu akan langsung diambil alih oleh BPJPH. Tidak bisa begitu!" sambungnya.
Disisi lain, Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Lutfi Hamid menanggapi pengesahan DPR terhadap RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Dia mengatakan, RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha untuk mensertifikasi halal produknya.
"UU Cipta Kerja ini mendorong agar produk-produk yang beredar itu disertifikasi halal. Kita memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk lebih mudah. Itu prinsipnya. Jadi (UU Cipta Kerja) ini memberikan jaminan kehalalan suatu produk," tutur Lutfi.