REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagaimana hukumnya memanfaatkan barang gadaian? Apakah sepeda motor yang digadaikan ketika berutang boleh dipakai oleh si penerima gadai? Lantas, apakah pemanfaatan itu termasuk nilai tambah atas utang diharamkan?
Dalam buku Utang dan Inflasi dalam Perspektif Fikih Muamalah karya Muhammad Abdul Wahab dijelaskan, mayoritas ulama melarang jika penerima gadai memanfaatkan barang yang digadaikan kepadanya jika gadai itu sebagai bagian dari akad utang piutangnya. Sebab, pemanfaatan benda itu dianggap sebagai nilai tambah yang diterima oleh si penerima gadai atas utang yang dia berikan.
Misalnya, ulama dari kalangan mazhab Syafii, Al-Mawardi mengatakan: “Jika seseorang berutang kepada orang lain seribu dengan menyerahkan barang gadaian dengan kesepakatan pemberi utang boleh memanfaatkan gadai itu, maka utangnya batal karena mendatangkan manfaat bagi pemberi utang. Dan gadainya juga batal karena disyaratkan dalam akad utang yang batil,”.
Ibnu Qudamah juga berpendapat demikian. Ulama kenamaan dari kalangan Hanabilah ini berpendapat, jika seseorang yang menggadaikan barang memberikan izin kepada penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadainya tanpa imbalan, sedangkan esensi utangnya sendiri adalah bernilai hukum utang-piutang, maka hal itu tidak boleh. Karena menghasilkan utang yang mendatangkan nilai tambah bagi pemberi utang dinilai sebagai suatu hal yang haram.
Al-Kasani dari madzhab Hanafi juga berpendapat yang sama. Menurutnya, penerima gadai tidak berhak untuk memanfaatkan barang gadai. Jika barang gadai itu adalah berupa hewan tunggangan (kendaraan), pakaian, bahkan rumah maka tidak diperkenankan untuk memanfaatkannya.