REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pelaku usaha biro travel umroh, Muharom Ahmad menilai penyesuaian biaya referensi penyelenggaraan ibadah umroh harus dikaji secara mendalam dari dua sisi. Pertama, berapa harga riil biaya umrohnya dan kedua, bagaimana daya beli masyarakat.
"Karena kita berharap jangan sampai harga acuan baru nanti menyebabkan jumlah jamaah menurun karena daya belinya menurun," kata direktur utama Yassinta Haji Umrah itu kepada Republika.co.id, Selasa (13/10).
Muharom ingin agar biaya ibadah umroh ini tetap terjangkau bagi jamaah. "Umroh dibuka tetapi daya beli masyarakat sedang turun dan kita menghitungnya tidak terjangkau oleh masyarakat, ya jadi enggak ada yang berangkat umrohnya, ini yang harus juga jadi pertimbangan," ucap dia.
Muharom juga setuju biaya referensi penyelenggaraan umroh ini diubah dan disesuaikan dengan konteks pencegahan penularan wabah Covid-19. "Saya setuju, tetapi pertama, kita harus mempertimbangkan biaya riilnya, bukan menduga-duga, dan kedua, kita juga harus melihat daya beli masyarakat," lanjutnya.
"Kalau dinaikkan, sementara daya beli masyarakat sedang turun di tengah pandemi, tidak ada banyak aktivitas belanja kan, malah enggak ada yang berangkat umroh," kata dia.
Muharom mengapresiasi Kementerian Agama yang ingin melakukan penyesuaian nilai atau angka referensi umroh. Namun, dia mengingatkan pengumuman resmi dari Saudi terkait standar atau makanisme baru penyelenggaraan umroh sendiri belum keluar.
"Bahwa ada asumsi kenaikan karena kapasitas pesawat lebih sedikit itu benar, tetapi apakah maskapai akan menaikkan harganya, dan berapa harganya, nah itu yang kita belum punya rilis resmi dari setiap maskapainya," imbuhnya.
"Prinsipnya kami setuju untuk menyesuaikan, tetapi besarannya akan lebih baik kalau setelah sebulan berjalan, atau setelah komponennya diketahui, ada angkanya, besarannya, barulah ditetapkan," jelasnya.