REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jutaan tenda yang berdiri kokoh membuat Mina dijuluki sebagai kota dengan "Sejuta Tenda". Meski dipakai sekali setahun, tenda-tenda itu tak pernah digulung sehingga dibiarkan saja laiknya sebuah bangunan permanen.
Lokasinya Mina itu terletak sekitar lima kilo meter di sebelah timur kota Mekah dan Muzdalifah. Keberadaan jutaan tenda itu itu menjadi ciri khas dan unik karena warna tenda merubah warna tanah Mina menjadi putih.
Itulah sebabnya mengapa Kota Madinah mendapat julukan sebagai Kota sejuta tenda titik sepanjang tahun wajah kota Mina bagaikan payung-payung cendawan jika dilihat dari atas titik di kota ini juga terdapat sebuah masjid bernama HIV di mana masjid ini pernah digunakan Rasulullah SAW.
Kota Mina didatangi jamaah haji paling tidak sehari sebelum hari Arafah yakni pada tanggal 8 Zulhijah. Setelah itu jamaah keesokan harinya bergerak meninggalkan Mina menuju kota tenda berikutnya, yaitu Padang Arafah.
Dan selesai dari tempat ini mereka kembali tinggal di Mina yang menjadi base camp hingga seluruh prosesi haji selesai hingga pada tanggal 12-13 Zulhijah.
Dalam bukunya Haji Koboi, Rita Audriyanti mengatakan, tenda-tenda yang berdiri kokoh di kawasan Mina yang luasnya sekitar 650 hektar itu merupakan tenda tahan api yang di desain dan dirancang secara khusus serta mampu menahan suhu panas hingga 700 derajat celsius. Bentuknya seperti payung terkembang dengan kuncup agar terbuka di bagian puncaknya. "Mungkin untuk memberi arus angin keluar masuk," katanya.
Rita menceritakan, sebagai mukmin yang tinggal di Jeddah, keluarga dan teman-teman mungkin pada umumnya, ketika melaksanakan haji tidak merasakan tinggal di tenda-tenda Mina ini. Apalagi Rita and The Gank melakukan haji Koboi yang lebih banyak bolak-balik kembali ke Jeddah.
"Kalau ikut paket pun, Mina hanya untuk mabid hingga lewat tengah malam lalu kami kembali ke apartemen di kawasan aziziyah yang tidak jauh dari tempat mabit," katanya.
Kata dia di luar musim haji, Ia pernah menyempatkan menapak tilas kawasan ini dengan kendaraan pribadi. Kata dia kondisinya sangat sepi, hanya para petugas dan pekerja proyek pembangunan jamarat yang hadir di sana. "Mina seakan seperti kota mati," katanya.
Tenda-tenda itu seakan saksi bisu bahwa entah sudah berapa miliar manusia pernah berdiam di bumi ini. Untuk memenuhi keingintahuan seperti apa tinggal di tenda resmi, sekali Rita mampir dan menikmati tenda-tenda sesuai dengan rombongan jamaah yang kami sambangi.
Kata dia, jika dari rombongan haji biasa tenda mereka begitu sempit dan padat bercampur antara orang dan barang. Miris katanya, ketika melihat yang mendengar kabar jamaah yang tendanya terbakar karena kompor meledak atau kebanjiran.
"Apalagi jika para orang-orang tua harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju Jamarat dari lokasi tendanya yang begitu jauh," katanya.
Namun, sebaliknya semakin mahal sebuah rombongan, maka semakin nyaman dan baik fasilitas tendanya. Biasanya tenda ber-AC, makanan minuman yang disediakan untuk 24 jam, kamar mandi yang selalu dibersihkan petugas khusus dan ketersediaan kesehatan darurat yang jaga terus-menerus.
"Memang sesuai dengan harga. Sampai di sini, soal service ikut aturan bisnis. Ada uang ada barang, semakin banyak uang semakin baik pelayanan," katanya.
"Saya sangat berharap dan berdoa, semoga pemerintah Kerajaan Arab Saudi terus memperbaiki fasilitas tenda bagi jamaah selama di Mina," katanya.