Selasa 20 Oct 2020 05:18 WIB

Pertemuan Umar bin Khattab dan Uwais Al Qarni Saat Haji

Uwais Al Qarni dan Umar bin Khattab bertemu saat musim haji.

Pertemuan Umar bin Khattab dan Uwais Al Qarni Saat Haji
Foto: Amr Nabil/AP
Pertemuan Umar bin Khattab dan Uwais Al Qarni Saat Haji

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Uwais al-Qarny. Ia adalah seseorang dari kalangan tabiin. Secara kasat mata, penampilannya tak mencirikan ia orang istimewa. Pakaiannya kusut dan hidup miskin.

Namun nama Uwais begitu istimewa bagi Rasulullah SAW. Meskipun tak pernah bertemu, sosok Uwais begitu tergambar jelas dari ciri-ciri yang disebutkan Rasulullah SAW.

Baca Juga

Melihat hal yang belum bisa dilihat orang lain adalah salah satu tanda nubuwah Rasulullah SAW. Dan, kali ini, beliau menempatkan sosok yang akan kelak datang pada kemudian hari sebagai sosok yang istimewa.

Suatu kali Rasulullah SAW bersabda, "Suatu saat akan datang seseorang bernama Uwais bin 'Amir bersama serombongan kafilah dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya." (HR Muslim).

 

Para sahabat pun heran dan bertanya. Siapakah sosok yang digambarkan Rasulullah SAW yang bernama Uwais itu sehingga ia memiliki keistimewaan Allah akan memperkenankan apa yang ia minta.

Sosok sahabat Rasulullah yang berhasil menjadi saksi sabda Nabi SAW tersebut adalah Umar bin Khattab RA. Saat musim haji, ia menemui serombongan kafilah dari Yaman. Bermaksud mencari sosok Uwais, ia bertanya kepada setiap orang apakah ada seseorang bernama Uwais dalam rombongan tersebut. Salah seorang rombongan menunjukkan sosok Uwais kepada Umar.

"Apakah engkau bernama Uwais bin 'Amir dari Muran dari Qarn?" tanya Umar. Uwais menjawab, "benar." Umar melanjutkan, "Apakah engkau pernah memiliki penyait kulit kemudian sembuh dan tersisa hanya sebesar satu dirham?" Uwais kembali menjawab, "Iya, benar."

"Apakah engkau memiliki seorang ibu?" tanya Umar lagi. "Iya, aku memiliki seorang ibu," kata Uwais. "Doakanlah aku," ujar Umar. "Karena Rasulullah SAW pernah bersabda jika aku bertemu engkau, aku diminta meminta doa darimu." Maka, Uwais pun mendoakannya.

Lihatlah sosok Uwais. Bagi rombongan kafilah Yaman, dia bukanlah siapa-siapa. Hanya rombongan jamaah haji biasa. Dia bukanlah ulama, penguasa, atau saudagar kaya. Pakaiannya pun tampak lusuh.

Bahkan, suatu kali Umar kembali bertemu dengan rombongan dari Yaman. Ia bertanya kepada rombongan tersebut kabar Uwais. Salah seorang rombongan itu menjawab, "Kami tinggalkan ia dalam keadaan miskin."

Biasa di mata manusia, namun tidak di mata Allah. Bahkan, Rasulullah SAW meminta sahabatnya yang mulia untuk meminta doa Uwais jika kelak bertemu dengannya. Menurut ulama, salah satu amalan yang bisa membuat kedudukan Uwais begitu mulia di sisi Allah adalah baktinya kepada ibunya.

Ibunya adalah sosok yang renta. Tanpa melupakan ibadah kepada Allah, Uwais begitu sayang dan melayani ibunya. Berbakti kepada sang bunda ternyata bukan hanya amalan setitik nan ringan pahalanya. Ia bisa menjadi musabab seseorang diangkat derajatnya begitu tinggi hingga mengalahkan kemuliaan para sahabat.

Berbakti kepada bunda nyatanya seperti berhenti pada kata-kata. Hari ini kita dapati anak-anak muda yang menganggap sang bunda sebagai wanita tua yang kerap mengatur kehidupan mereka. Sesekali bahkan umpatan dengan mudahnya meluncur dari anak-anak muda itu kepada ibunya. Na'udzubillah.

Ibu, dengan segala kosakata penggantinya, teramat mulia hanya untuk ditolak perintahnya. Sekadar mengeluh "ah, uh, huh" dan sejenisnya adalah larangan keras ditujukan ke sosok lembut nan mulia itu.

Sebagai manusia, ibu kita tentu memiliki kekurangan. Itu sebuah kepastian. Namun, seberapa pun kekurangannya, tak bisa menghilangkan garis nasab jika ia adalah ibu kita. Selama iman masih menghinggapi kalbu sang bunda, tak ada satupun alasan untuk tak taat kepadanya. Dalam catatan bukanlah sebuah perintah untuk maksiat kepada Allah.

Sesekali, tanyalah kepada ibu kita. Apakah kita sebagai sang anak sudah cukup memberikan ketenangan batin kepadanya. Atau, jangan-jangan kitalah yang menjadi beban pikiran yang ibu terus bawa dalam sujud-sujud sunyi.

Di dalam lisan seorang ibu ada ridha Allah bersamanya. Di dalam lisan ibu pulalah, ada murka Allah bersamanya. Di dalam doanya ada sifat makbulnya doa. Di dalam diri kita ada tiga kali kewajiban lebih untuk memuliakan sang bunda.

Maka, sungguh tak pantas seseorang menyia-nyiakan ibunya. Tak ada kata terlambat. Jika sang bunda sudah wafat, Allah menyiapkan ruang-ruang bagi kita untuk berbakti. Caranya, sekuat tenaga yang kita miliki menjadi sosok saleh di mata Allah lantas menengadahkan tangan mendoakan kebaikan bagi orang tua

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement