Rabu 21 Oct 2020 22:55 WIB

Konsep Pencahayaan Daerah Tropis di Masjid Al-Jabr

Tampilan masjid yang serba terbuka berpadu dengan rindangnya pepohonan di sekitar.

Masjid Al-Jabr di Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Masjid Al-Jabr di Jakarta Selatan.

IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Cahaya matahari memendar tatkala menembus kaca patri berukiran kalimat Allah. Kalimat itu pun silau terlihat. Lalu, siraman cahaya langsung saja menerangi seisi ruangan di lantai dua Masjid Al-Jabr Jakarta Selatan.

Di lantai dasar, siraman cahaya matahari tidak langsung menelusup. Tapi, embusan udara sore begitu terasa segar ketika menyapu buliran air wudhu yang masih membasahi wajah usai menunaikan shalat. Ah, petang yang begitu hangat dan menyejukkan ketika berkesempatan menyambangi masjid ini.

Sesungguhnya, masjid yang berdiri pada 1994 itu tidaklah terlalu megah. Bangunannya pun tak terlalu luas. Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al-Jabr H Madani mengungkapkan masjid tersebut berdiri di atas lahan seluas 1.000 meter. Bangunannya, kata dia, sekitar 700 meter.

Masjid ini memiliki dua lantai. Di bagian interiornya terdapat lubang berbentuk bujur sangkar. Dari lubang itulah tampak jelas kayu yang dipernis warna cokelat kekuningan. Kayu itu menjadi tulang untuk atap kubah masjid.

Walau tak megah dan luas namun masjid ini tetap memikat. Setidaknya, hal itu tersaji melalui tampilan eksteriornya yang serba terbuka, berpadu dengan rindangnya pepohonan di sekitar masjid.

Konsep bangunan terbuka ini terlihat dari ruangan utama yang ada di lantai dasar. Ruang utama itu tak memiliki empat tiang penyangga, seperti umumnya Masjid Agung Demak yang menjadi trend setter masjid tradisional Jawa di negeri ini. “Kita sengaja menampilkan tanpa empat tiang karena ingin membuat kesan lapang,” katanya.

Lalu, dengan adanya lubang balkon di bagian tengah ruang utama, membuat pencahayaan dan sirkulasi udara menjadi lebih maksimal. Di lantai dasar ini, udara bisa leluasa masuk ke seluruh ruangan, terutama saat dilakukannya waktu shalat. Itu disebabkan kedua pintu lipat yang ada di sisi utara dan selatan dibiarkan terbuka.

Sedangkan, untuk pencahayaan yang maksimal berasal dari lantai balkon (mezannine) masjid. Di lantai tersebut, cahaya bisa menerabas masuk melalui 12 kaca patri yang membentang di bagian plafon. Kaca-kaca patri itu dihiasi dengan kaligrafi tulisan Arab berlafaz Allah, Muhammad, dan penggalan ayat suci Alquran. “Di masjid ini kita memang tidak menggunakan jendela penutup. Tujuannya agar sirkulasi udara bisa bebas masuk sehingga kita tak perlu lagi menggunakan AC,” ujar Madani.

Di bagian interior itu, tak banyak ornamen seni yang dihadirkan. Permainan warna pun tak terlihat mencolok. Warna putih menjadi pilihan dominan dari masjid di kawasan Jalan Bango, Jakarta Selatan, ini. “Konsepnya memang sengaja kita buat secara fungsional saja. Fungsi utamanya adalah tempat ibadah,” katanya.

Bagian mihrab—biasanya kerap dijadikan pusat perhatian—pada Masjid Al Jabr ini dikemas secara sederhana. Sisi mihrab hanya ditandai dengan dua tiang yang terpisah dari tembok bangunan utama. Fungsi dua tiang itu bukanlah sebagai penyangga utama bagi lantai yang ada di atasnya. Namun, di bagian ujung mihrab, hadir sebuah cekungan (ceruk). Model semacam ini banyak ditemukan di sejumlah masjid tradisional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement