Senin 26 Oct 2020 14:55 WIB

Kisah Napoleon Menyerbu Mesir Menggusur Malmuk-Ottoman

Tragedi Muslim Mamluk dan Ottoman kala Napoleon Serbu Mesir

Ukiran antik Napoleon Bonaparte sebelum Sphinx, berdasarkan lukisan JL Gerome.
Foto: thenationalnews.com
Ukiran antik Napoleon Bonaparte sebelum Sphinx, berdasarkan lukisan JL Gerome.

IHRAM.CO.ID, -- Pada bulan Juni 1798, seorang jenderal Prancis yang muda dan haus kekuasaan sedang mendekati pantai Mesir dengan kapal Orient. 

Dia belum berusia 30 tahun. Namanya adalah  Napoleon Bonaparte, salah orang yang selalu terburu-buru, yang dengan cepat naik pangkat militer selama Revolusi Prancis yang berdarah.

Dia kala itu bersama armadanya yang sangat besar, yang mencakup sekitar 36.000 tentara dan lebih dari 100 ilmuwan dan intelektual. Laksana memisahkan gelombang musim panas di Mediterania, hati Napoleon pasti saat itu membumbung tinggi saat dia mengintip negeri ini yang dulu terkenal dengan Firaunnya.

Napoleon, sebagai serangan militer Barat modern pertama ke dunia Arab, waktu itu salah satu dari para penakluk Eropa yang akan menjajah negari. Penyerbuannya ke Mesir merupakan sebuah perjalanan untuk membuatnya tertoreh dalam sejarah.

Mengapa Napoleon dan mengapa Mesir?

Jenderal Napoleon adalah perintis terkemuka. Saat itu disebut Kaisar Prancis masa depan yang lahir sekitar 250 tahun, pada Agustus 1769. Di Mesir dia mendarat di Alexandria pada tanggal 1 Juli 1798. Hari itu akan menandai awal dari kampanye tiga tahun yang akan menjadi saksi kesuksesannya yang luar biasa sekaligus kegagalan yang hina -- di mana nanti akhirnya pengusiran Prancis dari wilayah tersebut berada di tangan Inggris.

Namun, yang terpenting, hal itu juga akan mengantarkan perubahan politik dan budaya yang akan memengaruhi Mesir dan daratan mediteria secara lebih jauh.

Vintage lithograph of Napoleon Bonaparte in Egypt viewing an Egyptian mummy, from the painting by Maurice Orange. Getty Images

  • Keterangan foto: Litograf antik Napoleon Bonaparte di Mesir melihat mumi Mesir, dari lukisan oleh Maurice Orange.

“Karena alasan politik, Direktori [yang mengatur] Prancis pada tahun 1798 sangat ingin menjaga Napoleon yang ambisius dan karismatik sejauh mungkin dari Paris, jadi mereka menunjuknya untuk memimpin invasi ke Inggris,” kata Cameron Reilly, seorang penggemar Napoleon yang berbasis di Australia yang dianugerahi Legion of Merit di Prancis atas kontribusinya pada sejarah Napoleon.

Napoleon yang licik, katanya, "Dengan cepat memutuskan bahwa ini adalah misi bunuh diri". Mengapa begitu? karena angkatan laut Prancis "masih belum cukup kuat untuk mencoba melakukan invasi langsung".

Tapi Prancis bertekad menjadi satu-satunya negara adidaya Eropa, ternyata tidak melakukan apa pun untuk menghalangi Inggris menyerang Prancis. Sebab, bagi mereka itu bukanlah pilihan. "Jadi, seperti seorang prajurit yang baik, Napoleon datang dengan alternatif terbaik yang dapat dilakukan pada saat itu,” kata Reilly.

Adam Zamoyski, penulis Napoleon: The Man Behind the Myth, mengatakan alternatif ini datang dalam bentuk “mengecualikan Inggris dan Rusia dari Mediterania. Tujuannya untuk memastikan bahwa mereka tidak akan menemukan pelabuhan yang bersahabat di Timur”.

Dengan kata lain, Ekspedisi d'Egypte yang dilakukan Napoleon dimaksudkan untuk mengganggu Kerajaan Inggris sebagai pengganti serangan frontal penuh terhadap musuh lama mereka. Mereka menggunakan Mesir untuk melakukan rencana ini.

Bencana yang tak tanggung-tanggung'

Dari Alexandria, Napoleon maju ke Kairo. Dia melakukannya sebagai sesbagisosok seorang penyelamat yang memproklamirkan diri untuk mengusir Mamluk, yang memerintah wilayah kuno yang saat itu berada di bawah kendali Ottoman yang minimal.

Pasukannya yang canggih terbukti terlalu kuat untuk perlawanan Mamluk.Namun, di bawah terik matahari, dan di sebuah lingkungan asing, kampanye awal mereka itu harus dibayar mahal.

“Mereka mendarat dan tidak memiliki peta yang jelas, dan mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan,” kata profesor Oxford Michael Broers, penulis Napoleon: Soldier of Destiny.

“(Akibatnya) Mereka berkeliaran di sekitar Delta Nil - dan [tentara] yang naik ke bagian subur delta dan ngarai itu yang hanya memakan melon dan kurma dan terserang disentri, sementara yang lain salah belok dan nasibnya berakhir tragis di gurun.”

Vintage engraving of Napoleon Bonaparte in Cairo, Egypt. Getty Images

  • Keterangan foto: Litograf antik Napoleon Bonaparte di Kairo, Mesir. Getty Images

Meskipun demikian, di antara amuk gelombang panas yang membunuh dan melumpuhkan banyak juru kampanye Napoleon, Broers mengatakan pasukan Mamluk yang “bobrok” tidak dapat menahan dominasi militer Prancis. Bahkan   menurut ingatan seorang tentara Napoleon, mereka juga termasuk melakukan beberapa tindakan terorisme terang-terangan terhadap penduduk lokal.

"[Kami] membakar sisa rumah, atau lebih tepatnya gubuk, untuk memberikan pelajaran agar menjadi objek yang mengerikan," tulis Sersan Charles Francois dalam catatan buku harian yang ditemukan.

Namun, pada tanggal 1 Agustus 1798, keadaan berbalik. Saat itu laksamana Inggris Horatio Nelson menyapu Mesir dan menghancurkan armada Prancis. Namun kehancuran nyata Napoleon, kata Broers, adalah dorongan selanjutnya menuju pantai Levantine ketika wabah dan perlawanan keras Ottoman yang membuat bencana yang tak tanggung-tanggung bagi pasukannya.

Apa selanjutnya untuk Raja dan Mesir?

Pada akhir musim panas 1799, penduduk asli Korsika, mengamati dengan cermat kekuatan di tanah airnya yang bergolak. Mereka kemudian meninggalkan pasukannya dan memilih kembali ke Prancis, di mana dia akan melakukan kudeta dan berkuasa. Ini terjadi sebelum muncul dampak publik dari bencana Mesir yang berkembang dapat terjadi dan menghambat ambisinya.

Kampanye Prancis di Timur Tengah akhirnya berakhir setelah pengusirannya dari Mesir oleh Inggris (dan Ottoman) pada bulan September 1801. Paul Strathern menulis di Napoleon di Mesir: The Greatest Glory, “antara 10.000 dan 15.000 orang Prancis mungkin terbunuh atau meninggal karena penyakit selama pendudukan Mesir, serta berkali-kali lipat jumlah prajurit Muslim dan [Mamluk] ”.

Kelahiran Egyptology?

Tetapi akhir dari kampanye ini bukanlah akhir dari cerita. Namun, pada kenyataannya, meskipun kekerasan sewenang-wenang yang dibawa oleh invasi Prancis ini, sebenarnya hanyalah awal dari ketertarikan pada Mesir.

Kala itu Napoleon juga membawa 167 cendekiawan bersamanya ke tanah Firaun. Hasilnya adalah sebuah buku bertajuk Description de l’Egypte, yang diterbitkan dalam volume antara 1809 dan 1829. Buku ini mencatat monumen Mesir kuno dan modern, serta kekayaan flora dan faunanya.

Batu Rosetta, yang ditemukan oleh pasukan Prancis pada tahun 1799 di sebuah desa kecil di Delta Nil dan sekarang disimpan di British Museum, juga terbukti penting untuk mengartikan hieroglif.

Begitulah intervensi budaya Prancis di Mesir tersebut anyak menganggap bila era ini sebagai kelahiran Egyptology. “Penambahan intelektual ke armada invasi cocok dengan antusiasme publik terhadap eksotika,” kata Profesor Peter Hicks, sejarawan Inggris dengan Napoleon Foundation di Paris.

“[Itu] sesuai dengan cita-cita Pencerahan (Reinasnce) dan juga sesuai dengan gagasan romantis Napoleon sendiri tentang pentingnya belajar dan citra romantisnya sendiri tentang dirinya sebagai Alexander Agung modern. Itu juga bertindak sebagai tabir asap untuk tujuan strategis nyata dari invasi,'' tulisnya lagi.

Di Mesir, pada masa akhir dari kampanye Prancis kemudian mengakibatkan Muhammad Ali, seorang perwira tentara Albania berpangkat tinggi yang telah berperang melawan Prancis atas nama Ottoman, mengklaim wilayah Afrika Utara untuk dirinya sendiri saat dia mengisi kekosongan kekuasaan. Peran Ali sebagai gubernur Ottoman Mesir menjadi saksi dimulainya dinasti kerajaan yang berlangsung hingga 1952.

Jadi, apapun petulangan Prancis di Timur Tengah itu, banyak pengamat di masa kini yang menunjukbila petualangan Mesir Napoleon tersebut sebagai pendahulu masa kekaisarannya dan masa depan Prancis. Semua berada di sini.

 

 

sumber : thenationalnews.com
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement