IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Seruan aksi pemboikotan produk Prancis mulai dikampanyekan di negara-negara Islam. Aksi tersebut merupakan respons atas komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron terhadap Islam. Jika ditarik lagi, ini berawal dari insiden kartun Nabi yang diterbitkan oleh majalah satir Charlie Hebdo. Namun, insiden tersebut bukan satu-satunya hal yang memicu kemarahan Muslim Prancis.
Selain insiden karikatur, ada lagi yang memicu kemarahan Muslim Prancis. Misal, pada 2004 negara melarang penggunaan jilbab di sekolah umum dan untuk pegawai negeri sipil di tempat kerja. Pada 2010 negara mengesahkan undang-undang yang melarang penutup wajah penuh di depan umum.
Menurut umat Islam, itu dipandang sebagai upaya untuk mencegah wanita Muslim mengenakan penutup wajah, niqab, dan lain-lain. Sementara pada 2016, ada larangan burqini di tiga pantai Prancis.
Dilansir Salaam Gateway, Jumat (30/10), baru-baru ini, Presiden Macron pada 2 Oktober berjanji akan memberlakukan undang-undang yang lebih keras untuk menangani apa yang dia sebut separatisme Islam dan mempertahankan nilai-nilai sekuler. Dia mengatakan Muslim Prancis berada dalam bahaya membentuk masyarakat paralel dan menggambarkan Islam sebagai agama dalam krisis.
“Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Kami tidak hanya melihatnya di negara kami, ini adalah krisis mendalam yang terkait dengan ketegangan antara bentuk-bentuk fundamentalisme, khususnya proyek-proyek keagamaan dan politik yang seperti kami lihat di setiap wilayah di dunia, mengarah pada pengerasan yang sangat kuat, termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam," kata Macron.
Sejumlah negara Islam turun tangan terkait polemik di Prancis tersebut. Pemerintah Arab Saudi pada 27 Oktober mengatakan pihaknya memperbarui penolakannya atas segala upaya untuk menghubungkan Islam dan terorisme dan kecamannya terhadap kartun Nabi. Meski begitu, pernyataan Arab Saudi tidak mengikutsertakan pemboikotan terhadap produk Prancis.
Sebuah protes di Bangladesh pada 27 Oktober sejauh ini merupakan aksi tatap muka terbesar hingga ribuan orang turun ke jalan. Tagar #boycottfrenchproducts dan #boycottfrance tersebar di berbagai platform media sosial.
Kantor luar negeri Pakistan pada 26 Oktober memanggil duta besar Prancis untuk mengajukan protes keras setelah Perdana Menteri Imran Khan mengecam dorongan Islamofobia Macron.
Prancis menarik duta besarnya untuk Turki pada 25 Oktober setelah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan Macron membutuhkan bantuan mental atas sikapnya terhadap Muslim. Erdogan juga mendukung boikot barang Prancis.
Prancis mengatakan pada Senin, pihaknya tidak merencanakan boikot timbal balik terhadap produk-produk Turki dan akan melanjutkan pembicaraan dan hubungan dengan Turki.
"Sangat terkejut dengan wacana yang tak terduga dari politisi Prancis tertentu, yang dianggap berbahaya bagi hubungan Muslim-Prancis," kata Organisasi Kerja Sama Islam pada 23 Oktober dalam sebuah rilis.
Sekretariat Jenderal OKI mengatakan akan selalu mengutuk praktik penistaan dan penghinaan terhadap Nabi Islam, Kristen, dan Yudaisme. Pengecer Kuwait menarik produk Prancis dari rak mereka. Kepala Persatuan Masyarakat Koperasi Konsumen mengatakan kepada Reuters produk tersebut dihapus sebagai tanggapan atas penghinaan berulang terhadap Nabi.
Sementara di Qatar, supermarket mulai menghapus produk Prancis pada 24 Oktober. Kementerian luar negeri Yordania pada 24 Oktober mengutuk publikasi karikatur yang berkelanjutan dari Nabi dengan dalih kebebasan berekspresi. Pengguna media sosial di negara itu telah mulai kampanye yang menyerukan boikot produk Prancis.