IHRAM.CO.ID, WASHINGTON DC -- Salah satu kandidat Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menegaskan jika suara Muslim Amerika penting dalam pemilihan kali ini. Hal ini ia sampaikan dalam pertemuan daring Emgage Action yang disebut "Million Muslim Votes", Juli 2020.
Komentar Joe Biden seakan mencerminkan kebutuhan yang nyata akan suara Muslim. Komunitas Muslim yang cukup besar diketahui berada di negara bagian Florida, Georgia, Michigan dan Pennsylvania.
Namun, apakah Muslim hanya dianggap sebagai kekuatan voting pasif? Kepemimpinan politik seperti apa, jika ada, yang mereka mainkan di tingkat negara bagian dan nasional? Bagaimana peran politik ini berkembang dari waktu ke waktu?
Dilansir di About Islam, Kamis (5/11), sebuah studi dan jajak pendapat menunjukkan keterlibatan politik Muslim Amerika telah meningkat dengan mantap dari waktu ke waktu di berbagai tingkatan. Survei ISPU yang dilakukan pada Maret 2020 menemukan data 79 persen pemilih Muslim memenuhi syarat untuk memilih. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan pada 2016, hanya 61 persen.
Dari sekian Muslim yang terdaftar, 81 persen menyebut memiliki rencana untuk memilih. Perlu menjadi catatan, 26 persen Muslim Amerika bukanlah warga negara, yang membuat mereka tidak berhak memilih.
Jauh sebelum pemungutan suara, Muslim Amerika telah terlibat secara politik di tingkat lokal, daripada orang Amerika lainnya. Sebanyak 22 persen Muslim dilaporkan menghadiri pertemuan di balai kota pada tahun sebelum survei, dibandingkan 15 persen masyarakat umum.
Muslim yang memiliki persentase sangat dekat dengan Yahudi, 16 persen, paling mungkin menjadi sukarelawan untuk kampanye politik dibandingkan hanya 7 persen dari masyarakat umum Amerika.
Ketika muncul gelombang aktivisme anti-rasisme baru-baru ini, 65 persen Muslim mendukung membangun aliansi dengan Black Lives Matter (BLM). Angka ini adalah yang tertinggi di antara semua kelompok agama yang disurvei.
Keterlibatan politik yang menjanjikan ini terhitung cukup baru. Ketika melihat komunitas Muslim Amerika sebelum 9/11, akan terlihat cukup tinggi jumlah imigran generasi pertama. Secara umum, imigran cenderung lebih memperhatikan kesejahteraan mereka dan membutuhkan waktu lama untuk berasimilasi.
"Sebelum 9/11, mayoritas komunitas Muslim imigran AS tinggal di sini secara fisik, tetapi secara mental dan spiritual mereka tinggal di kampung halaman," kata Direktur Eksekutif Center for Islam and Public Policy, Dr. Zahid Bukhari.
Proses asimilasi dapat berjalan ke dua arah yang berbeda. Pertama, imigran benar-benar kehilangan identitas mereka dan mengadopsi identitas komunitas tuan rumah. Cara ini menyebabkan generasi kedua meninggalkan Islam. Atau langkah kedua, para imigran Muslim dan keturunannya menemukan cara untuk menjaga identitas agama mereka sembari tetap mengadopsi identitas Amerika.
Komunitas Muslim Amerika mengalami fase kedua ini. Menyaksikan Muslim mencalonkan diri untuk jabatan publik berarti mereka tidak hanya hidup dengan kedua identitas tetapi juga menemukan bahwa Muslim memiliki sesuatu untuk disumbangkan ke Amerika.