IHRAM.CO.ID, XIANJIANG – Puisi Uighur yang sudah ada sejak berabad-abad lalu, kini berada di ambang kepunahan. Segelintir penyair telah ditangkap oleh pemerintah setempat. Ini menyebabkan identitas budaya Uighur semakin menghilang. Sedangkan mereka yang tidak ditangkap, dipaksa menulis untuk pemerintah Cina.
Pada 2017, ketika tindakan keras baru sedang berlangsung, toko buku ditutup dan industri penerbitan terhenti. Penyair dan Pembuat Film, Tahir Hamut Izgil yang tinggal di Urumqi mendapat kabar dari keluarga Uighur di Xinjiang selatan, mereka ditangkap. Izgil dibesarkan di Kashgar dan telah mengalami berbagai kampanye keras, tetapi kali ini berbeda.
“Setiap hari kami mendengar orang-orang diambil. Sekolah dan kantor pemerintah diubah menjadi kamp, paspor orang-orang diambil,” ucap Izgil.
Saat ia melarikan diri ke Amerika bersama keluarganya pada 2017, dia mengetahui setidaknya 20 penyair ditahan. Daftar yang memuat hampir 400 penulis, guru, cendekiawan, dan tokoh intelektual lainnya ditahan oleh aktivis termasuk lebih dari 33 penyair. Pihak berwenang di Xinjiang dan Kementerian Luar Negeri Cina tidak menanggapi permintaan komentar tentang dugaan penahanan.
“Saya pikir sangat jelas bahwa kejahatan mereka terlahir sebagai orang Uighur. Penargetan tokoh intelektual dan budaya pada dasarnya untuk mengakhiri budaya dan identitas Uighur,” kata Sejarawan yang menerjemahkan puisi Uighur, Joshua Freeman.
Di antara para penyair yang ditahan ada budayawan terkenal seperti Abdurehim Heyit, seorang penyanyi, musisi, dan penyair yang rumor kematiannya pada tahun 2019 menyebabkan pencurahan yang besar sehingga pihak berwenang merilis video tentang dirinya yang menegaskan dia masih hidup tetapi dalam penyelidikan.
Novelis dan penyair modernis Perhat Tursun ditahan pada 2018. Tursun dilaporkan telah dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Penyair, pengusaha, dan penerjemah yang menerjemahkan Red Sorghum, Abdukadir Juma diyakini telah dikirim ke kamp pada 2017. Menurut saudaranya, Memetjan Juma, Abdukadir Juma dikirim ke fasilitas kerja paksa.
Para penyair yang masih berada di Xinjiang mungkin tidak punya banyak pilihan selain menulis untuk melayani negara. Volume jurnal sastra Uighur Tarim merayakan ulang tahun ke-71 berdirinya Republik Rakyat Cina dengan puisi seperti "Cinta untuk Tanah Airku" dan foto-foto wanita Uighur yang tersenyum sambil mengibarkan bendera Cina.
“Beberapa orang mungkin harus menulis puisi ini dan beberapa orang mungkin merasa pemerintah akan menyukainya. Banyak orang yang diam,” ujar Izgil.