IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof DR Abdul Mu’ti, menyebut kelompok ekstremisme dan intoleransi ada di semua kelompok agama. Untuk mengatasi kelompok ini, ia menilai perlu dilakukan pendekatan dan pembinaan yang baik.
"Kelompok ekstrem itu ada dua kategori. Pertama, kelompok yang melakukan tindakan kekerasan melanggar hukum. Kedua, kelompok ekstrem yang tidak melakukan tindakan kekerasan dan tidak melanggar hukum," kata Abdul Mu'ti saat dihubungi Republika, Ahad (27/12).
Terhadap kelompok pertama, ia menilai harus dilakukan penindakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Tetapi, hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban aparatur penegak hukum.
Sementara untuk menghadapi kelompok kedua, perlu dilakukan pembinaan yang dilakukan oleh pihak terkait. Abdul Mu'ti menyebut pihak yang berwenang di dalamnya termasuk Kementerian Agama, melalui Dirjen Bimas Islam.
"Sejak kepemimpinan Pak Lukman Hakim Saefuddin, Kementerian Agama telah melakukan program moderasi beragama. Kemenag telah menerbitkan buku Moderasi Beragama dan pembinaan bagi mahasiswa dan tokoh-tokoh agama," kata dia.
Selain menggemakan perihal moderasi beragama, Kementerian Agama juga berupaya menerbitkan naskah khutbah Jumat. Adanya naskah khutbah Jumat ini dinilai berpotensi mengajak umat Islam mengamalkan keberagamaan yang moderat, toleran, dan terbuka.
Meski telah melakukan dua upaya di atas, ia menilai hal itu saja belum cukup. Perlu dilakukan dialog dan komunikasi yang intensif dengan semua kelompok umat, termasuk kalangan yang ekstrim yang intoleran.
"Ektremisme dan intoleransi ada dalam semua agama. Tidak hanya ada dalam diri umat Islam saja," lanjutnya.
Sikap yang dikeluarkan oleh Menteri Agama dan kementeriannya dalam menghadapi kelompok ekstrem dan intoleran disebut juga memiliki peran penting. Sikap terbuka dan mengembangkan sistem serta tata kelola kelembagaan moderat, dinilai bisa menjadi salah satu langkah "merangkul" kelompok ini.
Abdul Mu'ti menyebut sikap dan kebijakan yang moderat harus dimulai dari pemimpin. Dalam hal ini, sikap tersebut harus dimiliki olah jajaran elit dan pegawai di Kementerian Agama.
Terkait seberapa besar efek kelompok ekstrem di kalangan masyarakat, ia menyebut keberadaan kelompok ini sangat kecil. Namun, keberadaannya seringkali dikapitalisasi oleh berbagai kelompok untuk kepentingan tertentu.
Sebelumnya, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, menyebut tidak ingin kelompok populisme agama Islam merebak di Indonesia. Ia tidak menghendaki kelompok yang mengatasnamakan Islam ini menggiring nilai agama menjadi norma konflik.
"Saya tidak ingin, kita semua tentu saja tidak ingin populisme Islam ini berkembang luas sehingga kita kewalahan menghadapinya," kata Yaqut dalam Webinar Silaturahmi Nasional Lintas Agama, yang disiarkan YouTube Humas Polda Metro Jaya, Ahad (27/12).
Menurutnya, populisme Islam adalah upaya menjadikan agama sebagai norma konflik. Dalam bahasa paling ekstrem, siapapun yang berbeda keyakinan akan dianggap lawan atau musuh.
Yaqut lantas mengajak semua pihak menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan sebagai aspirasi. Pemikiran tersebut memiliki makna filosofis bahwa antarpemeluk agama harus saling menghormati dan menghargai.