Kamis 07 Jan 2021 05:09 WIB

Khilafah, Pan Islamisme, Doktrin Politik Luar Negeri Islam

Kajian khilafan dan Pan Islamisme

Pasar peninggalan Ottoman, Grand Bazaar Istanbul.
Foto:

Dari sini maka kita dapati, dalam politik luar negerinya, negara Islam semenjak zaman Rasulullah ṣallāllahu ‘alayhi wa sallam sampai masa Khilāfah ‘Uṡmāniyyah selalu menggalakkan ekspansi militer ke wilayah-wilayah dār al-ḥarb sampai penduduknya masuk Islam atau menyatakan ketundukannya kepada Khilāfah dan membayar jizyah (pajak khusus non-muslim).

Ketika Selim I menaklukkan Mamlūk di Mesir dan mewarisi jabatan Khalīfah dari dinasti ‘Abbāsiyyah pada 1517, ia juga mendapatkan kewenangan untuk menjadi “Pelayan Dua Tanah Suci” (ḫadimü’l- ḥaremeyn).

Jadi, selain berhak untuk mengontrol Makkah dan Madinah sebagai ritus umat Islam sedunia untuk melaksanakan ibadah haji, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah juga berkewajiban untuk mengamankan rute- rute menuju Tanah Suci, khususnya rute Laut Merah dan Samudera Hindia.

Hal ini membuat Khilāfah ‘Uṡmāniyyah langsung berhadap- hadapan dengan armada laut Portugis yang saat itu juga mencoba untuk merebut kontrol perdagangan internasional di perairan Samudera Hindia.

Sampai pertengahan abad ke-17, Khilāfah ‘Uṡmāniyyah terus menjadi negara Islam yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Klaim dinasti ‘Uṡmāniyyah atas Khilāfah diterima dan diakui oleh dinasti- dinasti Muslim lain, seperti dinasti Mugal di Anak Benua India dan beberapa kesultanan di Asia Tenggara.

Ketika tahun 1648, Sultan Meḥmet IV (w. 1693) naik ke tampuk kekuasaan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah sedangkan umurnya baru menginjak tujuh tahun. Melihat jabatan Khalīfah diduduki oleh seorang bocah, negara-negara Eropa melihat ini sebagai kesempatan untuk memporak- porandakan hegemoni Khilāfah.

Mereka pun membentuk aliansi yang terdiri dari Austria, Polandia, Venesia, Rusia, pendeta-pendeta Malta, dan Paus di Roma yang mereka namakan sebagai Aliansi Suci (Holy League) untuk melawan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Namun laju perlawanan aliansi Eropa ini dapat dibendung oleh Sadr-ı Azam Köprülü Meḥmet Paşa (w. 1661), yang sampai puluhan tahun berikutnya. Masa ini dikenal sebagai era Köprülü (Köprülüler Devri), era di mana perpolitikan Khilāfah didominasi oleh keluarga Köprülü yang menjadi wazir agung, bukan para Khalīfah ‘Uṡmāniyyah itu sendiri.

Kekuatan Khilāfah sedikit demi sedikit mulai melemah, apalagi semenjak penaklukkan kota Vienna gagal di tahun 1683. Setelah kegagalan itu, pasukan Holy League Eropa menghantam balik Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

Perjanjian Karlowitz yang ditandatangani pada 1699 menandakan keberhasilan Holy League dalam merebut kembali Hungaria yang sebelumnya berada di bawah otoritas Islam.

Perjanjian ini adalah awal buruk dalam sejarah Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, di mana mereka menarik diri dari peperangan dengan meninggalkan kaum Muslim di bawah otoritas musuh. Negara-negara Eropa yang sebelumnya membayar jizyah (Tr. cizye) dengan tunduk dan patuh kini tidak mau lagi membayar.

Pertempuran Khilāfah ‘Uṡmāniyyah yang berlarut-larut dengan Kekaisaran Rusia diakhiri di tahun 1774 dengan perjanjian perdamaian Küçük Kaynarca. Dalam perjanjian ini, wilayah Krimea yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah kini menjadi wilayah ‘merdeka’.

Namun begitu, penduduk Krimea yang beragama Islam (ehl-i İslam) tetap dapat memperlakukan Khalīfah ‘Uṡmāniyyah seperti yang ditetapkan dalam aturan agama, dengan menjuluki mereka sebagai “Pemimpin Orang-Orang Beriman” (imamü’l-müminin) dan “Khalīfah Orang-Orang yang Bertauhid” (ḫalifetü’l-muvaḥidin); tapi secara politik dan sipil, kaum Muslim Krimea bukanlah warga negara Khilāfah.

Hal ini merupakan awal dari upaya Barat untuk memisahkan potensi spiritual dan politik dari kekuasaan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement