Kamis 07 Jan 2021 06:03 WIB

Asal Usul Khilafah Sebagai Ekpresi Politik

Politik dan Khilafah Menjadi Ekpresi Politik

Pasukan Ottoman pada abad ke-16.
Foto:

Itu situasi di abad ke-16. Beda lagi di abad ke-19, terutama setelah ‘Uṡmāniyyah mengadopsi sebagian hukum Eropa yang mereka daulatkan sebagai Hukum Internasional pasca-deklarasi Tanẓimat.

Dalam bayang-bayang kolonialisme Belanda yang mengancam kedaulatan Kesultanan Aceh, beberapa kali Sultan Aceh mengirim utusan ke İstanbul untuk meminta dukungan militer sewaktu masa Sultan Abdülmecit I dan Sultan Abdülaziz (k. 1861-1876).

Aceh masih menganggap dirinya sebagai vasal Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, sebagaimana yang terjadi di abad ke-16.

Namun ketika permintaan bantuan itu sampai ke kantor Sadr-ı Azam dan Kementerian Urusan Luar Negeri (Umur-i Ḫariciye Nezareti) Khilāfah ‘Uṡmāniyyah, mereka menganggap urusan ini tidak memberikan keuntungan bagi ‘Uṡmāniyyah karena jarak yang begitu jauh menuju Aceh hanya membuang-buang tenaga.

Selain itu, sebagaimana yang dipaparkan Göksoy, İstanbul juga takut apabila permintaan Aceh ini diterima maka akan mengganggu hubungan yang baik antara Khilāfah ‘Uṡmāniyyah dengan Kerajaan Belanda “dalam kerangka Hukum Internasional”.

Lantas, apabila Khilāfah ‘Uṡmāniyyah tidak bisa lagi mengkomando jihad (aktivitas militer) dalam politik luar negerinya karena terkerangkeng Hukum Internasional yang tidak memperkenankan intervensi terhadap urusan negara lain, apa yang bisa mereka lakukan untuk menolong kaum Muslim di luar teritorialnya yang sedang berada di bawah penjajahan Eropa? Dari sinilah semangat Pan-Islamisme muncul.

Pan-Islamisme bisa dimaknai sebagai ‘Persatuan Islam’, walau sebenarnya istilah ini agak rancu karena bukan istilah yang lahir dari khazanah Islam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement