IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Salah satu orang cerdas di abad pertengahan Islam adalah matematikawan dan sarjana Abu 'Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haytham atau lebih dikenal sebagai Alhazen. Alhazen lahir di Basra, Irak pada 965. Dia juga merupakan insinyur dan sempat diundang untuk pindah ke Kairo, Mesir oleh Khalifah Fatimiyah, Al-Hakim.
Dikutip About Islam, Ahad (17/1) Al-Hakim mengundang Alhazen karena diyakini dia memiliki rencana untuk mengatur perairan Sungai Nil. Akhirnya Alhazen memimpin pasukan pekerja di selatan Aswan ke tempat yang disebut al-Janadil guna memenuhi tugas yang dianggap hampir mustahil. Di sini dia mengira akan melihat air Sungai Nil turun dari tempat yang lebih tinggi. Namun, dia kecewa saat melihat kenyataan yang berbeda.
Menurut catatan abad ke-13, Alhazen khawatir al-Hakim yang eksentrik dan tak terduga akan menghukumnya karena kegagalannya. Untuk menghindari hukuman, dia berpura-pura tidak waras sampai kematian al-Hakim. Dia kemudian meninggalkan rumah tempat dia dikurung dan dipindahkan ke qubbah di gerbang Masjid Azhar Kairo.
Di sana ia melanjutkan pekerjaannya sebagai penulis dan guru matematika. Alhazen mencari nafkah dengan menyalin sejumlah karya matematika dasar, termasuk Euclid's Elements dan Ptolemy’s Almagest.
Namun, Alhazen tidak berhenti dengan terjemahan. Dia juga memberikan kontribusi orisinal di bidang optik, astronomi dan matematika. Tulisannya sangat produktif yang mencakup berbagai mata pelajaran. Beragam prestasi diraihnya, di antaranya 25 buku dan esai tentang matematika dan 45 judul pertanyaan fisik dan metafisik.
Ini termasuk diskusi tentang Euclid, Apollonius dan Archimedes, serta komentar tentang karya filosofis Aristoteles dan karya medis Galen. Karya Alhazen yang paling penting adalah Kitab al-Manazir (Kitab Optik) yang komprehensif. Di dalam kitab itu, Alhazen mengembangkan teori luas yang menjelaskan penglihatan dengan menggunakan geometri dan anatomi. Dia menolak teori Euclid dan Ptolemy bahwa penglihatan dihasilkan dari sinar yang keluar dari mata dan mencapai objek.
Sebaliknya, dia mengatakan setiap titik pada area atau objek yang diterangi memancarkan sinar cahaya ke segala arah. Tetapi hanya satu sinar dari setiap titik yang mengenai mata secara tegak lurus dan ditransmisikan oleh benda transparan (lensa). Sementara sinar lainnya menyerang pada sudut yang berbeda dan tidak terlihat.
Begitu mendalam penjelasannya sehingga membuat George Sarton menyebut Alhazen sebagai Fisikawan Muslim terbesar dan salah satu pelajar optik terhebat sepanjang masa. Karya lain Alhazen yang ada pada subjek optik termasuk buku On the Light of the Moon. Buku tersebut menyatakan bulan bersinar seperti objek yang menyinari dirinya sendiri meskipun cahayanya dipinjam dari matahari.
Penelitian Alhazen, On the Shape of the Eclipse menggambarkan bentuk setengah bulan dari gambar matahari selama gerhana. Dari situlah diketahui penyebutan pertama tentang kamera obscura atau ruang gelap, tempat semua fotografi tergantung.
Meskipun tidak termasuk di antara para astronom Muslim terbesar, karyanya menunjukkan ia telah menguasai teknik astronomi Ptolemeus. Beberapa karyanya juga mengungkap kemampuannya dalam memecahkan masalah yang mendapat perhatian dari para astronom Muslim, seperti menentukan arah kiblat atau arah shalat.
Pengaruh Alhazen pada sains Eropa setelah kematiannya pada tahun 1040 tidak dapat diabaikan. Roger Bacon mengutip atau merujuknya di hampir setiap langkah bagian Opus Maius yang berhubungan dengan optic. Bagian VI dari karya tersebut bergantung pada penemuan Alhazen sebelumnya. Studi Johannes Kepler tentang cahaya juga bergantung pada karyanya.