IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Melakukan pembiayaan haji melalui produk keuangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) banyak ditawarkan kepada masyarakat tertentu. Produknya bisa berupa gadai syariah, pembiayaan haji, atau cara lainnya yang sesuai syariah. Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat?
Ustaz Oni Sahroni dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 3 menjelaskan, melakukan pembiayaan haji melalui produk keuangan LKS diperkenankan dalam Islam. Alasan diperbolehkannya pun bermacam dalam syariat. Pertama, di antara skema yang mungkin dilakukan untuk tujuan pembiayaan haji adalah gadai emas.
LKS, kata dia, memberlakukan beberapa syarat yang di antaranya adalah adanya besaran fee yang menjadi hak perusahaan. Hal ini tidak boleh dikaitkan dengan besaran pokok pinjaman sebagaimana fatwa DSN MUI nomor 25 Tahun 2002 tentang Gadai Emas.
Yakni, ongkos dan biaya penyimpanan barang ditanggung oleh penggadai. Dan besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan. Serta, biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah (jasa pengurusan haji).
Alasan ini disandarkan pada dalil berupa hadis Nabi, Rasulullah SAW bersabda: “Az-zahru yurkabu binafaqatihi idza kaana marhunan wa labanu ad-darri yusrabu binafaqatihi idza kaana marhunan wa alalladzi yarkabu wa yasyrabu an-nafaqatu,”. Yang artinya: “Tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan,”.
Dijelaskan bahwa menggunakan skema pinjaman (qardh) dan ijarah dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai dengan fatwa DSN MUI nomor 9 tahun 2000. Yakni apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-qardh.
Adapun jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji. Besar imbalan jasa al-ijarah pun tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-qardh yang diberikan LKS pada nasabah.
Maka, salah satu skema yang diperbolehkan adalah skema kafalah bil-ujrah. Yaitu calon jamaah haji yang memiliki kewajiban kepada pihak tertentu dapat mengajukan pembiayaan kepada bank syariah sebagai penjamin atas kewajibannya tersebut. Sekaligus melunasi kewajiban nasabah kepada pihak tersebut.
Dengan penjaminan itu, LKS berhak mendapatkan fee. Selanjutnya nasabah atau calon jamaah haji ini akan membayar kewajibannya secara berangsur sekaligus membayar jasa penjaminan yang dilakukan LKS tersebut. Penjaminan itulah yang dikenal dengan skema kafalah bil-ujrah yang diperkenankan sebagaimana fatwa DSN MUI nomor 11 Tahun 2000 tentang Kafalah.
Skema lainnya yaitu dapat dengan cara menabung, investasi, dan cara-cara lainnya sesuai dengan prinsip syariah. Alasan kedua, pilihan skema atau transaksi itu dengan mempertimbangkan fatwa DSN MUI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, dari sisi nasabah yang berhaji dengan cara berutang, tidak boleh melalaikan/mengorbankan hajat lain yang lebih penting.
Di mana tingkat keterbutuhan setiap orang itu bertingkat-tingkat. Yaitu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Yang mana kebutuhan primer harus didahulukan dari kebutuhan sekunder. Dan kebutuhan sekunder harus didahuluan dari kebutuhuan tersier. Misalnya, ibadah haji yang ditunaikan kedua kali bersifat sunah itu tidak melalaikan hajat lain yang bersifat wajib dan lebih penting.