Rabu 17 Feb 2021 05:10 WIB

Kudeta Myanmar dan Rasa Putus Asa Muslim Rohingya

Setiap kudeta militer yang terjadi di Myanmar membekas dalam ingatan warga Rohingya

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Esthi Maharani
Petugas polisi berjaga-jaga di belakang barikade yang memblokir jalan menuju bank sentral ketika para demonstran melakukan protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 16 Februari 2021. Junta militer Myanmar pada 16 Februari menghentikan layanan internet untuk hari kedua berturut-turut, sebagai protes terus berlanjut meskipun ada pengerahan pasukan dan kendaraan lapis baja di kota-kota besar.
Foto: EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Petugas polisi berjaga-jaga di belakang barikade yang memblokir jalan menuju bank sentral ketika para demonstran melakukan protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, 16 Februari 2021. Junta militer Myanmar pada 16 Februari menghentikan layanan internet untuk hari kedua berturut-turut, sebagai protes terus berlanjut meskipun ada pengerahan pasukan dan kendaraan lapis baja di kota-kota besar.

IHRAM.CO.ID, YANGON -- Berita jatuhnya Aung San Suu Kyi setelah kudeta militer terasa seperti pahit nan manis bagi Muslim Rohingya di Myanmar. Seperti diketahui, Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya digulingkan dalam kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu, menyusul kemenangan telak partai National League for Democrasy (NLD) dalam pemilihan pada November 2020 lalu.

Seorang warga Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi Balukhali di Cox's Bazar, Hossain Ahammad, mengungkapkan perasaannya tentang kejatuhan Aung San Suu Kyi dan kembalinya militer ke tampuk kekuasaan. Ahammad tinggal di kamp pengungsi bersama istri dan tiga anaknya.

"Baik militer maupun Aung San Suu Kyi tidak melakukan apapun untuk memulihkan hak-hak kami, meringankan penderitaan kami dan membawa mereka yang menyiksa Rohingya ke pengadilan," ungkapnya, dilansir di The Guardian, Selasa (16/2).

"Meski demikian, ada harapan bahwa melalui proses demokrasi keadilan akan diberikan kepada kami. Sekarang, setelah pengambilalihan militer, kami tidak dapat mengharapkan sesuatu yang baik untuk komunitas kami di negara asal kami," lanjutnya.

Setiap kudeta militer yang terjadi di Myanmar selama setengah abad terakhir membekas secara menyakitkan dalam ingatan komunitas Rohingya. Pada kudeta militer pertama Myanmar pada 1962, yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win, mereka meletakkan dasar penganiayaan agama dan budaya terhadap minoritas yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Di bawah Ne Win, warga Rohingya dicabut kewarganegaraannya dan menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia di bawah "Operasi Raja Naga" militer 1978, yang bertujuan untuk mengusir mereka dari Myanmar.

Dalam pengambilalihan rezim militer kedua, yang dipimpin oleh Jenderal Than Shwe, kebijakan diskriminatif terhadap Rohingya sama brutalnya. Operasi Pembersihan Bangsa yang dilakukan militer mengakibatkan pengusiran seperempat juta orang Rohingya ke Bangladesh pada 1991.

Dalam pemerintahan semi-sipil yang dipimpin oleh Thein Sein, yang sekarang mantan jenderal, penderitaan mereka semakin memburuk. Di bawah pemerintahannya, lebih dari 200.000 Rohingya diusir dari seluruh negara bagian Rakhine pada 2012 dan dipaksa masuk ke kamp pengungsian. Di sana, mereka masih hidup sampai sekarang tanpa akses ke perawatan kesehatan, pendidikan atau mata pencaharian.

"Setiap rezim militer atau pemerintah yang dipimpin sipil sejak kudeta militer pertama Myanmar pada 1962 telah mengakibatkan kemunduran bagi Rohingya,"   kata Mohammad Rafique, seorang aktivis yang berbasis di Irlandia.

Ia mengatakan, rezim militer baru Min Aung Hlaing hanya membawa kenangan menyakitkan bagi komunitas Rohingya. Pasalnya, setiap kali pemerintahan baru berkuasa, Rohingya diberikan harapan dan janji palsu, yang kemudian dipecah menjadi beberapa bagian.

Suasana di kamp Cox's Bazar sekarang adalah kemarahan dan frustrasi. Meskipun beberapa upaya untuk memulangkan Rohingya ke Myanmar telah gagal karena kurangnya jaminan dari pemerintah sipil Aung San Suu Kyi bahwa mereka akan aman, banyak pengungsi masih percaya bahwa mereka pada akhirnya akan dapat kembali.

"Kami semua ingin kembali ke tanah air kami, tetapi kami tidak dapat kembali selama militer berkuasa," kata Jafar Alam, seorang pengungsi Rohingya yang telah tinggal di kamp pengungsi Kutupalong di Cox Bazar sejak 2012.

Ia mengungkapkan, penyiksaan brutal oleh militer yang dipimpin oleh Min Aung Hlaing memaksa warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Ia mengatakan, luka dari penyiksaan dan kekacauan itu masih segar dalam pikirannya. Kini, jenderal angkatan darat tersebut memiliki kekuasaan tertinggi, karena itu ia merasa tidak ada warga Rohingya yang merasa aman untuk kembali ke Myanmar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement