IHRAM.CO.ID, WASHINGTON – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat pada Kamis (18/2) memberlakukan kembali undang-undang bipartisan yang akan melarang impor dari wilayah Xinjiang, China. Terkecuali jika barang tersebut bersertifikat tidak diproduksi dengan kerja paksa.
Mereka juga mengizinkan sanksi lebih lanjut terhadap para pejabat China yang bertanggung jawab atas pelanggaran Muslim Uighur. Versi terbaru dari undang-undang yang disahkan DPR 406-3 di Kongres sebelumnya pada September mirip dengan versi Senat yang diperkenalkan kembali bulan lalu.
RUU DPR akan memberi wewenang kepada presiden AS untuk menerapkan sanksi terhadap siapa pun yang bertanggung jawab atas perdagangan tenaga kerja minoritas Uighur atau Muslim di Xinjiang. Hal ini juga akan membutuhkan pengungkapan keuangan oleh perusahaan AS yang terdaftar tentang keterlibatan dengan perusahaan China yang terlibat dalam pelanggaran.
“Kami menyaksikan dengan ngeri ketika pemerintah China pertama kali menciptakan lalu memperluas sistem kamp interniran massal di luar hukum yang menargetkan Uighur dan minoritas Muslim,” kata Perwakilan Demokrat, Jim McGovern dalam memperkenalkan kembali RUU tersebut.
McGovern menuduh bahwa ekonomi Xinjiang “dibangun atas kerja paksa dan penindasan.”
"Banyak perusahaan AS, internasional, dan China terlibat dalam eksploitasi kerja paksa dan produk ini terus masuk ke rantai pasokan global dan negara kita. Sudah saatnya bagi Kongres untuk bertindak,” tambah dia.
Panel PBB mengatakan pada 2018 bahwa mereka telah menerima laporan, setidaknya 1 juta Muslim telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang. China menyangkal pelanggaran dan mengatakan kamp tersebut guna menyediakan pelatihan kejuruan dan diperlukan untuk melawan ekstremisme.
Inti dari RUU AS adalah anggapan yang mengasumsikan barang-barang dari Xinjiang dibuat dengan kerja paksa dan dilarang dari Amerika Serikat kecuali ada bukti yang jelas dan bertentangan.
Senator Republik, Tom Cotton dari Arkansas menyebut pemerintah China sebagai “kerajaan jahat baru,” dan mengecam beberapa perusahaan Amerika karena menolak RUU tersebut.
“Saya pikir memalukan bahwa beberapa pemimpin perusahaan di Amerika telah menghabiskan tahun lalu melobi melawan sanksi terhadap pejabat China karena menggunakan tenaga kerja paksa di provinsi Xinjiang. Mereka tidak ingin memiliki akuntabilitas untuk rantai pasokan mereka sendiri di China,” kata Cotton.
Dikutip Daily Sabah, Jumat (19/2), pemerintahan Biden mendukung keputusan administrasi Trump bahwa China telah melakukan genosida di Xinjiang dan mengatakan Amerika Serikat harus siap untuk membebankan biaya kepada mereka yang bertanggung jawab. Trump menjatuhkan sanksi kepada pejabat dan perusahaan China yang terkait dengan pelanggaran di Xinjiang dan mengumumkan larangan produk kapas dan tomat dari wilayah tersebut.