IHRAM.CO.ID,JAKARTA -- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (JPH) telah diterbitkan, namun ini dianggap tak menghormati keberadaan ulama yang berada di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah.
"Kami berpandangan, bahwa PP tersebut sangat merugikan kepentingan ummat Islam, dan kurang menghormati keberadaan Ulama yang berhimpun di dalam LPPOM MUI yang selama ini telah menjaga dan memberikan ketentraman dan kenyamanan kepada masyarakat melalui Sertifikasi Halal sebagai Jaminan kehalalal produk, dan juga memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan industri halal," kata Ikhsan pada Jumat (19/2).
Dia mengatakan, terdapat beberapa poin pokok dan krusial yang menjadi fokus bahasan dan sorotan tajam dari IHW, MUI dan juga aktivis Pegiat Halal. Hal ini juga telah disampaikan sebagai masukan dan usulan kepada DPR, serta Pemerintah.
Selain itu juga ada masukan berupa usulan hal-hal penting agar bisa dimasukkan ke dalam RPP Jaminan Produk Halal, yang tengah disusun oleh Pemerintah saat itu. Akan tetapi usulan tersebut kurang mendapat sambutan positif, atau diabaikan oleh penyusun RPP.
Ikhsan mengungkapkan, sertifikasi halal merupakan salah satu instrumen bagi tumbuhnya industri halal. MUI yang diamanati Pemerintah melalui SK Presiden atau menteri selama 30 tahun lebih mampu menjaga ketentraman umat, dan ketersediaan produk halal. Bahkan produk halal sudah menjadi tren, dan telah menjadi ekosistem yang terjaga.
Ikhsan menyebutkan beberapa hal substantif tidak masuk ke dalam PP JPH, di antaranya:
1. Standar Halal
MUI memiliki tugas dan fungsi sebagai Himayatul Ummah dan Shodiqul Hukumah. Menjaga dan melindungi masayarakat muslim agar tidak terkontaminasi oleh makanan dan minuman yang tidak halal, baik produk dalam negeri maupun produk luar negeri. Karena itu, melalui peran sebagai Mitra Pemerintah (shodiqul hukumah), MUI wajib berperan aktif dan terlibat langsung dalam menentukan standar halal di Indonesia.
Standar Halal merupakan pernyataan tentang kehalalan yang didasarkan atas ketentuan dan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Usulan ini telah disampaikan agar masuk ke PP dalam Ketentuan Umum Pasal 1, angka 21. Dengan demikian, bila Standar Halal tersebut masuk dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir ke-21. Maka seluruh pengaturan detail dalam pasal-pasal berikutnya, harus mengacu dan merujuk secara penuh pada fatwa-fatwa halal MUI. Namun sayang, usulan Pasal 1 angka 21 dari MUI tidak diterima.
2. Sertifikat Halal
Sertifikat Halal merupakan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Mengenai Sertifikat Halal ini, telah diusulkan dalam RPP, yang semula Pasal 3 RPP hanya ada satu alinea. Maka Sertikat Halal ini dalam Pasal 3, diusulkan menjadi atau masuk dalam Pasal 3 ayat (2),
Setifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
Dengan pendirian pokok atau jiwa Sertikat Halal merupakan Fatwa tertulis yang dikeluarkan MUI, maka tidak akan ada. Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh BPJPH tanpa adanya Fatwa Halal dari MUI dan atau 'Halal Declaire' dari UMKM yang dilegalisasi oleh BPJPH.
Dengan demikian perjuangan memasukkan substansi pokok ini kedalam RPPJPH, wajib hukumnya untuk diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Namun sayangnya usulan Pasal 3 ayat (2) dari MUI untuk RPP ini, tidak diakomodasi atau tidak diterima.
3. Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor
Lembaga Pemeriksa Halal dan Auditor merupaka Wakil dari MUI, untuk menjalankan tugas audit atau memeriksa kesesuaian syariah dalam pemeriksaan produk, barang atau jasa, guna mempercepat proses dan menjangkau seluruh sektor Pengusaha Mikro, kecil dan menengah, serta pengusaha besar, yang tersebar diseluruh Wilayah Indonesia. Sehingga mempermudah MUI dalam melakukan Uji kompetensi kesesuain Syariah.
Untuk kepentingan hal tersebut diatas, MUI telah mengusulkan Penambahan, pada Pasal 27 ayat (2) yang semula hanya sampai dengan huruf c. MUI menambahkan huruf :
d. Skema Pemeriksaan halal;
e. Dokumen Standar Halal.
Serta Pada Pasal 28 ayat (3) yang semua berbunyi : huruf a. BJPPH dapat bekerjasama dengan lembaga nonstructural yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang akreditasi. (Hanya sampai disini). Majelis Ulama Indonesia menambahkan kata 'dan MUI'.
Sehingga berbunyi :
Huruf a. BJPPH dapat bekerjasama dengan lembaga nonstructural yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang akreditasi dan MUI. Namun sayangnya usulan ini tidak diabaikan, sehingga berpotensi MUI akan meragukan LPH dan Auditor, yang bekerja melakukan Pemeriksaan dan audit halal tersebut, karena MUI tidak dilibatkan dalam proses pelatihan.
4. MUI tidak dilibatkan dalam Administrasi, Verifikasi, dan Inspeksi Produk.
PP kurang memberikan ruang dan peran kepada MUI untuk terlibat dalam verifikasi, inspeksi produk dan LPH. Sehingga dinilai tidak mempermudah dan memperkuat MUI dalam menetapkan Fatwa.
5. Halal itu ranah MUI, kesesuaian syariah ranah MUI.
PP tidak melibatkan MUI dalam Akreditasi Sertifikasi Auditor Halal dan Akreditasi LPH. Tidak melibatkan MUI dalam akreditasi auditor halal dan Verifikasi dalam penetuan LPH, menjadikan ada kesenjangan dan miskomunikasi yang bisa terjadi antara MUI dengan LPH dan Auditornya, karena belum samanya persepsi Standar Halal dan kesesuaian Syariah yang dimiliki oleh LPH dan Auditornya.
6. MUI Tidak dilibatkan dalam kerjasama luar negeri
Bahwa tidak dilibatkan sama sekali MUI dalam kerjasama Halal dengan Luar Negeri. Padahal untuk menjaga kondusifitas dunia usaha baik dalam negeri maupun luar negeri, dan guna menjaga kekosongan hukum. Maka Peraturan peralihan perlu diberikan ruang yang longgar terhadap perpanjangan sertifikasi halal dan Kerjsama Internasional Sistem Jaminan Halal.
7. Perlakuan Tidak Adil terhadap LPPOM MUI
Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 RPP, Pasal 171 huruf i RPP JPH yang disusun Pemerintah tersebut, merupakan perlakuan tidak adil terhadap LPPOM MUI.
8. Pembiayaan
Pembiayaan penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa dibebankan pada pelaku usaha. MUI berkomitmen untuk menghindari pembebanan biaya fatwa halal pada APBN.
Untuk menghindari pembebanan biaya Fatwa Halal pada APBN, telah diusulkan oleh MUI agar Penetapan Biaya Fatwa dibebabkan kepada Pelaku Usaha. Namun sayang, usulan-usulan ini diabaikan
"Kami sangat khawatir implementasi Penyelenggaraan Sistem Jaminan Halal semakin jauh dari harapan Masyarakat dan Dunia Usaha. Dan sebaliknya semakin menyandera Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikasi Halal. Sekali lagi sangat diperlukan kerjasama yang baik antara BPJPH dan MUI," ungkap Ikhsan.