Selasa 23 Mar 2021 05:55 WIB

Nasib Pengungsi Suriah yang Terjebak di Turki

Turki menjadi negara tuan rumah pengungsi terbesar di dunia

Rep: Mabruroh/ Red: Esthi Maharani
Sudut kota Gaziantep, Turki
Foto:

Bagi pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdoğan di Ankara, masuknya warga Suriah, setidaknya 110 ribu di antaranya telah memperoleh kewarganegaraan Turki, mewakili blok baru yang menjanjikan dari pemilih potensial.

Tapi tidak semua orang menginginkan akan berakhir di Turki. Misalnya Ahmad al-Taweel (32), seorang desainer grafis dari Damaskus, melarikan diri ke Turki pada 2013. Ia ingin membuat kehidupan baru di Belgia, mencoba menyeberangi Mediterania dari Izmir di pantai Aegean lima kali sebelum menyerah dan menetap di Gaziantep.

"Saya sangat ingin pergi ke Eropa . Setelah setahun mencoba di Turki, saya pikir saya tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan atau menyelesaikan studi saya di sini. Tapi kapalnya tenggelam tiga kali. Begitu penjaga pantai sengaja menenggelamkannya. Setelah gagal berkali-kali saya harus menyerah. Saya pikir saya akan mati jika saya terus berusaha,” kata Taweel dilansir dari The Guardian, Senin (22/3).

Saat ini, Taweel mengaku senang tinggal di Turki dan mulai mempelajari bahasa Turki. Ia juga telah memiliki penghasilan dan menikahi perempuan Turki. "Saya telah membangun kehidupan yang baik bagi diri saya sendiri," ungkapnya.

Taweel mengaku bersyukur karena gagal menyeberangi Mediterania. Ternyata kata dia, para pengungsi yang menuju Eropa saat ini justru banyak terjebak di kamp-kamp di Yunani dan tempat-tempat lain dalam kondisi kemanusiaan yang mengerikan, belum lagi ribuan orang yang tenggelam. "Krisis pengungsi mengubah pendapat saya tentang pemerintah Eropa, jujur ​​saja. Saya kecewa melihat wajah asli mereka," tambahnya.

Namun tidak semua pengungsi Suriah seberuntung Taweel. Sebanyak satu juta warga Suriah di Turki bekerja tanpa izin yang layak, membuat mereka rentan terhadap pemerasan oleh majikan.

Menurut Brookings Institution, 40 persen anak-anak tetap tidak bersekolah, dan 64 persen rumah tangga perkotaan Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Kelas bawah yang terisolasi dan terasing.

Kemerosotan ekonomi Turki pada 2018 menyebabkan reaksi balik terhadap warga Suriah yang berujung pada kampanye deportasi ilegal pada musim panas berikutnya. Dan pada awal 2020, puluhan ribu orang mencoba melakukan perjalanan ke Eropa sekali lagi setelah Erdogan mengatakan Turki tidak akan lagi memblokir jalan mereka dalam upaya menekan UE.

Salah satunya adalah Helli, yang selalu ingin menuju Eropa bergabung dengan sauudaranya yang lain. Karena untuk kembali ke Suriah, kata dia, masih tidak memungkinkan karena peperangan.

“Saya sudah memulai bisnis saya di sini, anak-anak saya bersekolah di Turki. Mungkin saya bisa mengembangkan restoran saya dengan satu restoran di Istanbul. Hidup saya di sini sekarang,” kata Helli pemilik restoran.

Hal senada juga diungkapkan Azam al-Ahmad yang masih ingin mengungsi ke Eropa. Pria berusia 29 tahun itu terpaksa putus dari gelar sarjana hukumnya ketika revolusi dimulai.

"Rencananya selalu Eropa, bergabung dengan saudara-saudara saya di Jerman. Saya harus menabung, dan istri saya menjual perhiasannya, untuk membayar penyelundup untuk perjalanan itu. Jika saya tertangkap, saya bisa kehilangan status perlindungan saya atau dideportasi… Tapi itu masih sepadan," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement