IHRAM.CO.ID, -- Tiga anggota Polda Metro Jaya telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari tewasnya empat Laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek. Namun, atas dua tersangka, satu dari tiga meninggal dunia akibat kecelakaan, tersebut polisi belum melakukan penahanan.
Pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar, pun menyindir tajam langkah kepolisian yang justru tak menahan dua tersangka kasus unlawful killing terhadap laskar FPI. Aziz menganggap hal ini makin menguatkan asumsi ketidakadilan yang diterima oleh HRS.
"Tentu sangat disayangkan ya, kok malah semakin kuat menunjukkan kesan ketidakadilan di negeri ini," kata Aziz kepada wartawan, Rabu (7/4).
Aziz meminta polisi membandingkan kasus HRS dengan penembakan tersebut. Ia heran mengapa polisi justru menahan HRS yang kasusnya lebih kecil.
"(Kasus) prokes ditahan, diduga membunuh tidak ditahan. Ini bagaimana ya hukum di republik ini," kata Aziz mengeluh.
Aziz sulit memercayai tegaknya hukum. Ia pun menyindir bahwa kasus protokol kesehatan lebih berbahaya ketimbang kasus pembunuhan laskar FPI. "Apakah prokes lebih bahaya dari membunuh?" ucap Aziz.
Ketua Tim Advokasi Kasus Pembunuhan Enam Anggota Laskar FPI, Muhammad Hariadi Nasution, turut mempertanyakan alasan kepolisian merahasiakan identitas ataupun inisial anggota Polda Metro Jaya yang terseret kasus dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing). Menurutnya, hal tersebut terjadi karena takut pelaku akan membeberkan nama komandan yang memberikan perintah untuk membunuh enam laskar FPI.
"Penyebab belum diungkap identitasnya sampai sekarang salah satunya karena takut pelaku akan membeberkan nama komandan pemberi perintah. Tentu, pelaku lapangan tidak mau dikorbankan begitu saja. Rugi besar mereka yang hanya menjalankan perintah komandan, tapi harus menanggung semua risiko, bahkan berhenti dari dinas Polri dan tentu saja kehilangan sumber penghasilan," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (7/4).
Kemudian, ia melanjutkan kalau pelaku lapangan nanti menjelaskan semuanya secara lengkap di pengadilan tentang perintah komandan, tentu saja semua skenario rencana pembunuhan yang sistematis akan terbongkar. Karena itu, para dalang dan aktor intelektual di belakang skenario pembunuhan enam laskar ini masih belum mau membeberkan siapa pelakunya.
"Mungkin juga masih belum deal dan belum bisa memastikan pihak yang dikorbankan tidak akan buka suara tentang komando yang diterima," kata dia.
Ia menambahkan, memang pelaku sebenarnya pasti aslinya bukan polisi di polda dengan jabatan rendah. Namun, ada tim eksekutor di luar polda yang lebih besar wewenangnya. Dan, para pelaku yang berasal dari luar polda ini sangat berkuasa sehingga mampu menghambat penuntasan kasus pembunuhan enam laskar tersebut.
"Membunuh saja mereka sanggup dan merasa punya wewenang, apalagi sekadar menghentikan perkara. Sebab, pihak pelaku sesungguhnya ini bahkan bisa menjadikan perkara hukum apa pun yang dianggap menghalangi kepentingan mereka. Jadi, bisa dibayangkan besarnya kekuasaan para pelaku sesungguhnya ini," kata dia.
Ia mengaku akan terus mengawal dan menunggu kepolisian hingga kasus ini diusut secara tuntas. "Kami akan terus menunggu sampai kebenaran dan keadilan ditegakkan," kata dia.