Sabtu 10 Apr 2021 10:14 WIB

Kisah Umroh yang Tertunda

Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, umat Islam akhirnya memiliki kesempatan umroh.

rombongan umrah (Ilustrasi)
Foto:

Kaum Muslimin tinggal di Makkah selama tiga hari sebagaimana telah ditentukan dalam Perjanjian Hudaibiyah, sesudah kota itu dikosongkan dari penduduk. Selama tinggal di sana, kaum Muslimin tidak mengalami sesuatu gangguan. Kalangan Muhajirin menggunakan kesempatan menengok rumah-rumah mereka dan mengajak pula para sahabat dari kalangan Anshar.

Setiap hari kaum Muslimin menjalankan kewajiban kepada Allah dengan melakukan shalat dan menghilangkan sikap tinggi hati. Yang kuat membimbing yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Nabi sendiri bertindak sebagai seorang ayah di tengah-tengah, seorang ayah yang penuh cinta dan dicintai.

Sementara itu, orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah lainnya, menyaksikan sendiri pemandangan yang luar biasa dalam sejarah itu. Mereka melihat orang-orang dengan akhlak yang demikian rupa—tidak minum minuman keras, tidak melakukan perbuatan maksiat, tidak mudah tergoda oleh makanan dan minuman.

Kehidupan duniawi tidak sampai memengaruhi mereka. Mereka tidak melanggar apa yang  dilarang, mereka menjalankan apa yang diperintahkan Allah. Alangkah besarnya pengaruh yang ditinggalkan oleh pemandangan demikian itu, yang sebenarnya telah mengangkat martabat umat manusia ke tingkat yang paling tinggi.

Tidak terlalu sulit orang menilai kiranya bila sudah mengetahui, bahwa beberapa bulan kemudian Rasulullah telah kembali lagi dan dapat membebaskan Makkah dengan kekuatan sebanyak 10.000 orang Muslimin.

Di Makkah, Rasulullah SAW bersama rombongan menetap tiga hari. Hal tersebut merujuk pada perjanjian Hudaibiyah. Rasullullah dan rombongan akhirnya meninggalkan Makkah dan sempat tinggal di Sarf.

 

Para peneliti mengungkap dua alasan terkait umrah Qadha ini. Pertama, umrah Qadha ini umrah yang tertunda pelaksanaannya tahun sebelumnya. Kedua, umrah ini merupakan salah satu klausul perjanjian Hudaibiyah. Namun, para peneliti lebih menerima alasan kedua. (Zad al-maad dan Fathul Bari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement