IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 berlangsung hampir dua tahun. Kondisi ini berdampak berat pada berbagai sektor usaha, termasuk pelaku usaha mikro kecil (UMK) di Indonesia yang jumlahnya mencapai puluhan juta.
Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Mastuki, menyebut sertifikasi halal menjadi bagian dari strategi akselerasi kebangkitan UMK melalui kemudahan berusaha.
Ia memastikan, sertifikasi halal mudah dilaksanakan oleh pelaku UMK. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan banyak kemudahan bagi pelaku UMK dalam pelaksanaan sertifikasi halal.
"Undang-undang Cipta Kerja hadir dengan fleksibilitas yang memberikan penyederhanaan perizinan berusaha termasuk proses bisnis sertifikasi halal. Hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UU tersebut," kata Mastuki dikutip di laman resmi Kemenag, Jumat (21/5).
Perkembangan regulasi JPH ini disebut banyak berimplikasi positif. Di antaranya pada percepatan layanan sertifikasi halal, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK, penataan kewenangan, kepastian hukum, serta mendorong pengembangan ekosistem halal di Indonesia.
Berdasarkan UU Nomor 33/2014, proses sertifikasi halal produk dalam negeri membutuhkan waktu hingga 97 hari kerja dan sertifikasi halal produk luar negeri selama 117 hari kerja. Namun, regulasi terbaru telah memangkasnya menjadi hanya 21 hari kerja saja.
Proses 21 hari kerja tersebut terhitung setelah semua kelengkapan dokumen dan persyaratan pelaku usaha terpenuhi. Pemangkasan waktu meliputi semua proses bisnis layanan sertifikasi halal yang dilakukan di BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Saat ini layanan sertifikasi halal berbasis web melalui aplikasi Sihalal juga telah terintegrasi dengan Online Single Submission (OSS) sebagai sistem yang mengintegrasikan seluruh pelayanan perizinan berusaha yang menjadi kewenangan berbagai Kementerian/Lembaga yang dilakukan secara elektronik, sehingga proses layanan menjadi lebih cepat dan efisien," kata dia.
Mastuki menambahkan, kewajiban bersertifikat halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK sendiri. Di masyarakat, istilah ini dikenal dengan self declare.
Meski demikian, hal ini tidak berarti produk tersebut auto-halal begitu saja, melainkan harus melalui mekanisme yang dilaksanakan dengan kriteria tertentu.
Di antara kriteria yang harus dipenuhi adalah, produk menggunakan bahan baku no risk dan bahan pendukung yang sudah pasti kehalalannya. Lantas, proses produksinya juga sederhana dan harus dipastikan kehalalannya.
Regulasi juga membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi peran serta masyarakat dalam penyelenggaran JPH melalui Ormas Islam. Di antaranya mendirikan LPH, penyiapan Auditor Halal, Penyelia Halal, sosialisasi dan edukasi mengenai JPH.
Hal lainnya yang bisa dilakukan berupa pendampingan dalam proses produk halal, publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan, pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum, serta pengawasan terhadap produk halal yang beredar.