"Di luar itu, Ikapi meminta percepatan penyusunan peraturan pemerintah sebagai turunan UU Ekraf tentang hak kekayaan intelektual sebagai penguatan upaya pemberantasan pembajakan buku," katanya.
Ia menambahkan, pelanggaran hak cipta produk kreatif buku secara garis besar terbagi dua. Pertama, yakni dalam bentuk pembajakan oleh pelaku-pelaku reproduksi ilegal yang menjualnya ke pasar-pasar konvensional maupun lokapasar (marketplace) daring (online).
Kedua, berupa penggandaan ilegal secara sebagian maupun dalam bentuk buku utuh hasil fotokopi yang terutama beredar di kampus-kampus perguruan tinggi. “Kedua jenis pelanggaran hak cipta tersebut sama-sama membunuh energi kreatif para pelaku perbukuan,” kata Arys.
Karena itu, dunia penulisan menjadi tidak menarik sebagai bidang pekerjaan karena penulis maupun pelaku perbukuan lainnya kehilangan potensi pendapatan dari karya mereka. Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit saja akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp116,050 miliar.