IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Bertahun-tahun, warga Palestina terus melawan kependudukan Israel yang merebut tanah airnya. Para lelaki dan perempuan bersatu mengerahkan apa pun yang bisa dilakukan guna melawan Israel. Salah seorang Muslimah Palestina, Afnan Saed, yang merupakan warga Sheikh Jarrah menceritakan bagaimana kontribusi perempuan Palestina.
“Kondisi perempuan di Palestina sama seperti lelaki, tidak ada bedanya. Kami bersatu melawan penjajahan zionis dengan kemampuan masing-masing. Setiap rumah mempunyai cerita tersendiri,” kata Saed dalam telewicara Peran dan Perjuangan Wanita dalam Menjaga Kesucian Palestina dan Masjid Al Aqsa di kanal Youtube Aksi Insan Nusantara, Jumat (11/6).
Saed menjelaskan perjuangan para kaum perempuan tidak harus baku hantam dengan pasukan Israel, salah satu cara adalah menyebarkan informasi di sosial media tentang situasi terbaru di Palestina. Mereka memanfaatkan medsos untuk menyebarkan informasi atas apa yang Israel lakukan.
Dia menekankan, yang tengah dihadapi oleh warga Palestina saat ini bukan hanya perang secara fisik melainkan perang informasi di sosmed. Orang-orang yang menyebarkan informasi dan menggerakkan massa di medsos sangat diperhitungkan keberadaannya dalam kontribusi ini.
“Perjuangan wanita dalam pembebasan Palestina tidak lebih sedikit daripada lelaki. Peran utama dari serangan 11 hari lalu adalah Aktivis Perempuan Muna al-Kurd. Dia menyuarakan melalui medsos tentang tindakan penjajahan lingkungan Sheikh Jarrah,” ujar dia.
Tak hanya di medsos, perempuan Palestina juga berjuang dengan cara lain, misalnya perannya sebagai murabithah. Yakni, para perempuan yang selalu jaga dan memiliki jadwal sendiri di Masjid Al Aqsa agar masjid tidak kosong sehingga pasukan Israel tidak bisa semena-mena masuk dan menguasai Masjid Al Aqsa.
Warga Palestina lain, Areej Yousef al-Kurdi juga menceritakan perjuangannya. Meskipun dia berada di Lebanon, dia tetap vokal dalam aksi memperjuangkan Palestina. Sebagai anggota the Women’s Palestinian Youth Organization, al-Kurdi berjuang dengan cara yang berbeda.
Saat Hari Nakbah, kakeknya harus membawa keluarganya meninggalkan tanah Palestina. Kala itu, situasi keluarganya sangat tertekan. Mereka sangat kaget karena terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Ini yang membuat mereka berjanji akan kembali ke Palestina dengan darah atau nyawa. Jika tidak bisa direalisasikan, janji itu akan terus dibawa pada generasi selanjutnya.
“Janji dan metode ini selalu diajarkan di keluarga saya. Jika meninggal di tanah Lebanon, perjuangan diteruskan ke anak-anaknya,” kata al-Kurdi.
Saat peristiwa Nakbah, al-Kurdi harus kehilangan kakenya. Luka yang ada di tubuh kakeknya tidak bisa disembuhkan sehingga ia meninggal sehari setelah Hari Nakbah. Sementara kakeknya yang lain, harus meninggal di Palestina sebelum bisa ke Lebanon.
Tinggal di Lebanon, al-Kurdi harus menghadapi segelintir kesulitan hidup, terlebih bukan di negara asal mereka. Selain harus bersikap menghormati warga Lebanon, dia harus menghadapi krisis ekonomi dan pangan.
Ada sejumlah kegiatan yang ia lakukan bersama dengan para aktivis lainnya. Karena pergerakannya terbatas, mereka lebih banyak berfokus pada kegiatan pendidikan dan kebudayaan yang ditujukan pada generasi setelah mereka. Ini bertujuan generasi mudah terdidik dan meneruskan perjuangan kakeknya tentang masalah Palestina.
“Kami memberikan pengajaran tentang bahasa Arab, bahasa Inggris, dan pendidikan tentang kenegaraan Palestina. Pendidikan yang kita lakukan adalah jihad dengan ilmu karena ini masih masa persiapan, belum waktunya kembali. Ketika waktunya tiba, kami sudah mempersiapkan dengan matang ke Palestina,” ucap dia.
Terkadang, jika diizinkan oleh pemerintah Lebanon, mereka mengadakan aksi unjuk rasa untuk menyuarakan masalah Palestina dan agar Lebanon tetap mendukung Palestina. “Kami bukan kabur. Kami di Lebanon karena ini tempat kami untuk berjuang,” tuturnya.