Ahad 13 Jun 2021 05:55 WIB

Kisah Ibu yang Terpaksa Tinggalkan Tiga Putrinya di Gaza

Permohonannya untuk tinggal permanen di Kanada belum disetujui

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Esthi Maharani
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.
Foto: AP / John Minchillo
Anak-anak berkumpul di samping kawah tempat rumah Ramez al-Masri dihancurkan oleh serangan udara sebelum gencatan senjata tercapai setelah perang 11 hari antara penguasa Hamas Gaza dan Israel, Minggu, 23 Mei 2021, di Beit Hanoun. , Jalur Gaza utara.

IHRAM.CO.ID, GAZA -- Pengungsi Palestina dari Gaza, Jihan Qunoo menceritakan kisah ketika terpaksa meninggalkan ketiga putrinya di Gaza sementara dia sendiri harus tinggal di Kanada pada 2019. Permohonannya untuk tinggal permanen untuk memasukkan tiga gadis kecilnya, yang saat itu berusia sepuluh, enam, dan satu tahun, masih belum disetujui.

Tiga putri Jihan Qunoo tidak memiliki ibu mereka di sisi mereka selama pemboman Israel atas Gaza pada Mei 2021. Jihan tidak melihat ketiga anaknya sejak 2019 ketika dia bermigrasi ke Kanada untuk menyelesaikan dokumen agar bisa membawa anak-anaknya negara tersebut.

Selama itulah, Jihan harus menonton tayangan di televisi tentang kematian dan kehancuran yang disebabkan oleh pemboman Israel baru-baru ini di daerah kantong yang terkepung. Anak-anaknya termasuk di antara ribuan orang di Gaza yang trauma dengan serangan 11 hari Israel.

Bagian terburuk bagi Jihan adalah menjadi seorang ibu yang tidak bisa menenangkan putrinya. Dia berupaya untuk menghibur anak-anaknya dari sisi lain dunia, dengan memasang wajah berani untuk memberi mereka rasa aman dan kepastian bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tentu setiap orang tua akan melakukan hal yang sama.

"Itu sangat sulit. Saya sendiri ketakutan. Kondisi mental putri saya memburuk selama penyerangan. Dia berlarian di sekitar rumah sambil menangis histeris ketika mendengar bom," kata Jihan seperti dilansir dari Middle East Monitor, Sabtu (12/6).

Konsekuensi psikologis selama bertahun-tahun konflik, banyak dari mereka yang hanya mengetahui kehidupan di bawah pengepungan. Di sisi lain, blokade yang dilakukan Israel dan Mesir sejak 2007 membuat sebagian besar tidak bisa keluar.

"Hidup di Gaza tidak mudah. Sangat ramai dan sebagian besar airnya tercemar. Lalu ada listrik, yang tersedia paling lama delapan jam sehari. Sejak serangan terakhir, anak-anak mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak memiliki listrik sama sekali selama ini," jelasnya.

Bagian tersulit, katanya, adalah pembatasan perjalanan yang diberlakukan oleh Israel, yang membatasi kemampuan warga Palestina untuk meninggalkan Jalur Gaza, bahkan untuk tujuan bekerja dan belajar.

"Sebagian besar permintaan izin perjalanan ditolak oleh otoritas Israel tanpa alasan tertentu. Bahkan jika disetujui, bisa memakan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan. Tidak masalah apakah Anda seorang wanita atau anak-anak," lanjut Jihan.

Selain itu juga tidak ada transparansi seputar sistem izin perjalanan. COGAT, badan militer Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil di Tepi Barat dan Gaza yang diduduki, mempertimbangkan permintaan individu dan mengizinkan perjalanan untuk kasus-kasus kemanusiaan.

Setiap permintaan mendapatkan pemeriksaan menyeluruh yang melibatkan semua kantor profesional yang relevan dan tunduk pada pertimbangan keamanan. Aktivis HAM pun mengakui sistem tersebut melanggar hukum internasional yang relevan dan menghambat hak kebebasan bergerak rakyat Palestina.

"Sangat mudah menjadi sasaran di Gaza ketika ada pemboman terus-menerus dan anak-anak saya menderita semua itu tanpa saya. Tidak ada tempat bagi mereka untuk lari. Sangat sedikit orang yang bisa pergi," ucap Jihan.

Menurut Jihan, anak perempuannya, Aleen, Mariam dan Kenzi hampir tidak makan atau tidur dan bahkan tidak bisa mengumpulkan keinginan untuk bermain. Selain itu, mereka menderita di malam hari dan terlalu takut untuk pergi ke kamar mandi sendirian.

"Mereka menangis sepanjang malam dan tidak pernah bisa tidur. Bahkan dengan gencatan senjata, anak-anak saya masih membutuhkan saya karena mereka trauma. Mereka tidak bisa tinggal di kamar sendirian. Mereka lebih memilih untuk tidur sama sekali. Dan mereka tidak makan dengan benar. Mereka membutuhkan saya di sisi mereka, ibu mereka," ujar Jihan.

Dia menambahkan, putri keduanya telah didiagnosis dengan depresi dan menangis tanpa henti selama berjam-jam. Laporan medis yang mendokumentasikan kondisi mental anak-anak yang rentan dimasukkan dalam pengajuannya agar aplikasi residensi dipercepat dengan cepat sehingga mereka dapat bergabung di Kanada.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement