IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Dr KH Asep Zaenal Ausop mengatakan jamaah haji tidak cukup hanya mengetahui tata cara (kaifiat) ibadah haji yang tampak dalam aktivitas rangkaian ibadah haji. Jamaah Haji juga harus berusaha untuk memahami hakikat ibadah haji itu sendiri.
"Pemahaman ini menjadi penting agar mereka melaksanakan rangkaian manasik haji dengan kekuatan hati yang utuh," kata KH Asep Zaenal Ausop dalam bukunya "Haji: Falsafah, Syariah &Rihlah Meraih Haji Mabrur yang Cumlaude."
KH Asep mengatakan, tidak kalah pentingnya, setiap jamaah juga harus dapat memahami landasan hukum dan standing position ibadah haji dalam kerangka Islam yang holistik. Terkait hal ini belum banyak jamaah yang mengetahuinya.
Hakikat ibadah haji adalah perjalanan spritual dalam rangka melaksanakan ibadah mahdhah pada waktu khusus di tempat yang khusus. Haji disebut perjalanan spiritual karena semua kegiatan yang ada di dalamnya.
Ibadah haji sejak awal sampai akhir, sudah diatur oleh Alquran dan Al-Sunnah dari mulai kapan, dan di mana mulai berniat (ihram) apa saja yang harus dibaca dalam setiap episode apa saja amalan yang dilakukan. Serta larangan apa saja yang harus dijauhi, denda-denda apa saja yang harus dibayar manakala melanggar salah satu aturan tersebut.
"Waktu pelaksanaan haji pun tidak sembarangan, tetapi hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu (asyhurum maklumat, yakni dari 1 syawal hingga 13 Julhijah)," katanya.
Haji juga disebut ibadah mahdhah, yaitu jenis ibadah yang secara langsung berinteraksi dengan Allah disebut mahdah karena ibadah haji memiliki aturan tersendiri yang harus steril (mihadh) dah dari aturan luar. Haji juga harus bersih dari aturan akal manusia, kecuali dalam persoalan teknis.
"Tata cara atau kaifiat berhaji atau pelaksanaan haji telah dijelaskan secara detil oleh Sunnah Rasul," katanya.
Dalam hal ini, jamaah haji hanya diminta untuk mengikutinya dengan ikhlas, tidak perlu berat hati. Nabi menegaskan bahwa:
"Khudzu anni manasikakum (ambilah dariku cara-cara ibadah hajimu) Hadis riwayat Imam An Nasa'i, At Tabrani Ahmad dan Muslim.
Karena sudah lengkap dan terperinci, jamaah haji tidak perlu melakukan penambahan atau pengurangan. Tindakan menambah mengurangi, atau mengubah tata cara haji di luar ketentuan Alquran dan Sunnah adalah perbuatan batil.
"Jika menambah berarti berlebihan atau bidah. Jika mengurangi berarti zalim, sedangkan mengubah-ubah aturan yang sudah ditetapkan Rasul berarti fasik bahkan bisa sirik," katanya.
Karena itu kata KH Asep sebagian Muslim kita harus bersikap Samina wa athona (kami dengar dan kami taat). Karena sikap inilah yang paling aman, selamat dan menyelamatkan.
"Serta merupakan manifestasi dari tauhid ittiba kepada Allah dan Rasul-Nya," katanya.