REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveler.
Pasukan itu terlihat kelelahan. Banyak yang terluka. Perbekalan yang dibawa pun kian menipis. Sang Panglima memerintahkan pasukannya untuk mundur di satu tempat.
“Kita berhenti di sini dan atur strategi,” perintahnya. Di tempat itu lalu didirikan bangunan yang kelak dikenal dengan nama Masjid Al Alam. Wilayah tempat pasukan itu berhenti kini dikenal sebagai kampung Marunda.
Panglima yang memimpin pasukan itu Adipati Bahurekso dan Ki Mandurareja. Mereka datang dari tanah Mataram menuju Batavia. Tahun 1628-1629, kampung Marunda menjadi posko pasukan Mataram Islam ketika bertempur melawan kompeni dari Batavia.
Semangat perlawanan yang ditinggalkan pasukan Mataram pada penduduk setempat tak hilang sekalipun pasukan itu tak lagi menggunakan wilayahnya sebagai basis pertahanan.
Sepanjang perjuangan melawan penjajah muncul banyak pahlawan lokal. Di antaranya seorang mujahidah yang digelari “Singa Betina dari Marunda”.
Ia bernama Mirah. Meski perempuan, kemampuan silatnya yang dalam bahasa Betawi diistilahkan “maen pukulan” luar biasa, ia bisa membuat kocar-kacir pasukan kompeni.
Disebutkan, ia punya keahlian menggunakan batang pohon Plawad yaitu sejenis pohon tebu dalam aksinya. Tak banyak catatan perjuangannya, kecuali yang ditulis Yahya Andi Saputra dan H Irwan Syafi’ie dalam bukunya “Beksi Maen Pukulan Khas Betawi”.
Tak hanya kemampuan “maen pukulan”, dari tanah Betawi juga tercatat para mujahidah di jalan dakwah.
Kalau selama ini stereotype masyarakat Betawi “tak berpendidikan”, maka pendapat itu terpatahkan oleh sosok perempuan yang menyenyam pendidikan di Kuliyatu Ii Al Banat jurusan Dirasah Islamiyah, Universitas Al Azhar, Kairo, hingga memperoleh gelar doktor. Ia adalah DR. Hj. Siti Suryani Taher (1940-2015), pendiri Majelis Ta’lim Kaum Ibu Attahiriyah.
Sebelum berangkat ke Mesir, orangtuanya telah mengirim terlebih dahulu ke Sekolah Tsanawiyah Diniyah Putri Padang Panjang, Sumatera Barat.
Keluarga Betawi ini tergolong tak biasa, karena dari 15 bersaudara, 9 di antaranya dikirim studi ke luar negeri. Selain ke Mesir, saudara-saudara DR Siti Suryani ada yang disekolahkan ke Makkah, Madinah, Irak dan Syiria.
Berkat tangan dinginnya, dari kelompok pengajian kecil yang digagasnya, ta’lim itu terus berkembang, dan berdirilah Kursus Bahasa Arab dan Agama (KURBA) hingga Universitas Islam Attahiriyah (UNIAT) Jakarta.
Di era Milenial ada Mujahidah dakwah dari Betawi yang namanya tercatat dalam buku “Generation M: Young Muslim Changing the Word”, sebagai salah Muslimah paling berpengaruh di dunia. Ia adalah Syifa Fauzia.
Saat namanya dimasukkan dalam daftar tersebut, ia adalah ketua Hijabers Community Indonesia. Komunitas muslimah yang menjadi salah satu motor penggerak fenomena hijrah di Indonesia.
Sekarang, ia menjabat sebagai ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) yang beranggotakan ribuan majelis taklim dengan jutaan jamaah yang tersebar di 33 provinsi, menggantikan almarhum ibunya Prof DR Tuty Alawiyah.
Syifa berasal dari keluarga ulama Betawi terpandang. Kakeknya adalah KH Abdullah Syafi'ie, pendiri Pondok Pesantren As-syafi'iyah.
Sebagai bagian dari keluarga ulama intelektual, ia menyelesaikan studi sarjananya di Perth, Australia. Kemudian melanjutkan jenjang S2 di Westminser University di London dan S3 di Indonesia.
Jadi, tidak benar anggapan orang Betawi itu tidak terdidik, pemalas, dan pandir. Yang betul, masyarakat Betawi terkenal egaliter, terbuka, dan religius. Para Mujahidah dakwah itu memberikan buktinya.
Siapa bilang perempuan Betawi tak sekolah tinggi
Pasti dijabani meski ke ujung dunia
Hari ini 22 Juni
Selamat Ulang Tahun Jakarta!
Jakarta, 22/6/2021