Kamis 24 Jun 2021 06:03 WIB

Dikhianati: Kisah Tragis Penerjemah AS di Afghanistan

Warga lokal yang menjadi penerjemah tentara AS di Afganistan hidup dalam ketakutan

Keempat dari kiri, barisan belakang, Zabiullah Zyah, yang bekerja sebagai penerjemah untuk militer AS di Afghanistan selama kurang dari dua tahun antara 2010 dan 2012, berfoto bersama tim Penembak Jitu Marinir AS dan Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan di sebuah pos pemeriksaan dekat kota Marjah, provinsi Helmand.
Foto:

Kehidupan yang hancur 

Kemudian, pada akhir 2004, pemimpin Taliban, Mullah Omar mengumumkan pemberontakan bersenjata melawan “Amerika dan bonekanya untuk merebut kembali kedaulatan” Afghanistan. Pada tahun 2005, Ameen mulai menemukan grafiti “untuk tidak bekerja sama dengan Amerika dan rezim bonekanya”, yang tertulis di dinding di desanya. Seruan itu ditargetkan pada siapa saja yang telah mengambil posisi dengan militer AS dan siapa saja yang mungkin berpikir untuk melakukannya.

Tak berapa lama, grafiti itu kemudian berubah menjadi surat peringatan dan serangan. Ini terbukti setelah dia selamat dari serangan oleh orang-orang bersenjata di rumahnya pada tahun 2007. Kala itu istri dan anak-anaknya mendesaknya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai penerjemah di militer AS.

Maka, sejak saat itu begitu banyak yang berubah bagi Ameen dan keluarganya. Apalagi kini adik laki-lakinya telah menikah dan memiliki anak sendiri serta bekerja di sekolah setempat. Jadi Ameen harus kembali bertani secara penuh waktu.

Betrayed': The Afghan interpreters abandoned by the US | TechiaCrypto.Com

Keterangan foto: Grafiti oleh pejuang Taliban tetap di dinding kompleks yang digunakan sebagai pusat komando untuk marinir AS di Musa Qala di provinsi Helmand Afghanistan selatan [File: Finbarr O'Reilly / Reuters]

Pada tahun 2008, dia dan saudaranya telah mengambil bagian dalam proyek yang dipimpin oleh LSM untuk membantu petani lokal meningkatkan produktivitas mereka. Ini artinya keluarga itu kembali berpenghasilan cukup untuk memberi mereka ketenangan pikiran.

Akhirnya, Ameen memutuskan sudah waktunya untuk mengejar mimpinya menjadi seorang insinyur. Untuk menyelesaikan studinya ini, ia pindah ke Kabul, meninggalkan istri dan anak-anaknya. Dan khawatir akan nyawanya dan kehidupan keluarganya setelah menerima sejumlah ancaman pembunuhan, ia jarang mengunjungi. Ini terjadi sampai hari itu di awal musim panas 2009, ketika saudaranya dibawa pergi dan kemudian dipenggal itu.

Untuk 'melindungi' sekutu lokal itu, dalam bukunya, Under Contract, Noah Coburn, seorang antropolog politik yang berbasis di AS dengan fokus pada Afghanistan, menulis bahwa sebagian besar penyedia layanan (penerjemah dan pekerja lain) yang dipekerjakan di luar negeri oleh militer AS adalah orang Afghanistan. “Dengan memilih untuk mengandalkan begitu banyak tenaga kerja subkontrak [di Afghanistan], pemerintah AS telah menempatkan puluhan ribu warga Afghanistan, yang melakukan segalanya mulai dari interpretasi dan pemantauan pemilihan hingga pekerjaan konstruksi, dalam bahaya,” tulis Coburn.

Bahayanya itu pun terbukti sangat nyata. Sebagai pembalasan untuk bekerja dengan AS, sejumlah penerjemah telah disiksa dan dibunuh oleh Taliban dan foto-foto tubuh mereka dibagikan di media sosial dan situs web Taliban. Sulit untuk menyebutkan berapa banyak yang meninggal dengan cara ini karena tidak ada angka resmi. Namun, sebuah organisasi non-pemerintah, No One Left Behind, memperkirakan bahwa sejak 2014, lebih dari 300 penerjemah dan anggota keluarga mereka telah terbunuh karena hubungan mereka dengan AS.

Pekan lalu, Taliban mengeluarkan pernyataan yang mengatakan itu tidak akan merugikan mereka yang sebelumnya bekerja untuk pasukan asing di Afghanistan, selama “mereka menunjukkan penyesalan atas tindakan masa lalu mereka dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan seperti itu di masa depan yang merupakan pengkhianatan terhadap Islam dan negara”.

Korengal Valley Foto e immagini stock - Getty Images

Keterangan foto: Seorang tentara AS dari Batalyon 1 Resimen Infanteri ke-17 berbicara kepada seorang polisi Afghanistan, tengah, melalui seorang penerjemah pada tanggal 6 Maret 2010, di Kandahar, Afghanistan [File: John Moore/Getty Images] 

Pemerintah AS telah berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk membawa semua warga Afghanistan yang membantu militer AS di Afghanistan ke AS melalui SIV atau program lain yang dapat dilakukan.

Ketua Ketua Gabungan Jenderal Mark Milley mengatakan: “Ada rencana yang dikembangkan dengan sangat cepat di sini, tidak hanya untuk penerjemah tetapi juga orang lain yang telah bekerja dengan Amerika Serikat. Kami memiliki komitmen moral kepada mereka yang membantu kami.”

Sementara pemerintah AS mengatakan program SIV akan berlanjut setelah September. Namun mereka belum memberikan kerangka waktu khusus untuk ini.

Kenyataan ini ironis. Apalagi jumlah para orang Afghanistan yang bekerja sama dengan militer AS sempat melonjak setlah adanya keputusan pemerintahan Presiden Obama untuk mengirim lebih banyak pasukan ke Afghanistan. Adanya kebijakan ini telah secara efektif meningkatkan pasukan AS sekitar 50 persen menjadi 53.000 orang pada Februari 2009. Imbasnya, terjadi peningkatan jumlah orang Afghanistan yang dipekerjakan dalam posisi layanan mereka.

Memang bagi banyak pria muda yang telah tumbuh selama tahun-tahun bersama kehadiran militer AS, kerja bersama mereka itu tampak seperti kesempatan yang baik, meskipun berbahaya. Mereka kini takut akan terjadinya pembalasan,.

Kisah ini terjadi pada Jamil, seorang warga Afghanistan yang minta agar di rahasiakan pekerjaan barunya, bahkan dari keluarganya. Setelah gagal dalam tes bahasa Inggris dua kali, Jamil akhirnya bersil mendapatkan pekerjaan di Amerika pada tahun 2009. Kala itu dia baru berusia 19 tahun.

“Mereka (Militer AS) tidak pernah meminta CV atau lamaran lainnya, Bahasa adalah satu-satunya keterampilan yang mereka minta,” kata Jamil, yang bekerja sebagai penerjemah untuk tentara AS hingga 2011.

Seorang penerjemah Afghanistan yang bekerja di skuadron ke-4 Resimen Kavaleri 2d tentara AS membantu menanyai seorang penduduk desa selama patroli bersama dengan tentara dari tentara Afghanistan pada tanggal 5 Maret 2014, dekat Kandahar, Afghanistan [File: Scott Olson/Getty Images]

Seminggu sebelum berangkat misi di provinsi Nuristan pada akhir 2010, Jamil kemudian mengetahui bahwa salah satu teman terdekatnya telah diledakkan oleh granat berpeluncur roket (RPG). Saat itu Jamil tengah berada bersama konvoi militer AS yang sedang melakukan perjalanan melewati medan kasar yang ditutupi pohon pinus di provinsi Nuristan.

Nah, pada saat dia memikirkan temannya yang akan menikah pada bulan berikutnya, dia tiba-tiba mendengar suara ledakan. Kendaraan yang ditumpanginya dan timnya pun ditabrak. “Segera setelah itu, semua orang berlindung dan mulai menembaki para penyerang,” kata Jamil. "Tapi saya tidak bersenjata pada saat itu dan terus berdoa agar saya bisa keluar hidup-hidup."

Untunglah, semua orang selamat. Tetapi kaki kanan Jamil terluka parah oleh pecahan peluru dan dia mendapati dirinya terbaring, tak berdaya, di lembah hijau yang indah. Tidak dapat bergerak atau membela diri di tengah baku tembak yang hebat. Dia juga terkena peluru di kaki lainnya. Akhirnya, rekan-rekannya menemukannya dan menyeretnya pergi.

Namun luka-lukanya membutuhkan waktu empat bulan untuk sembuh. Selama watu itu dia tetap berada di kamp militer. Ini karena dia takut akan pembalasan jika dia kembali ke desanya dan penduduk desa mengetahui tentang keterlibatannya dengan militer AS.

Ketika dia akhirnya bisa berjalan lagi, dia melanjutkan beberapa misi lagi, tetapi kemudian menerima beberapa berita yang meresahkan pada November 2011. Dia tidak lagi dianggap "dapat dipercaya" oleh tentara AS. "Tidak ada alasan yang diberikan," katanya.

Maka, setelah tiga tahun bekerja dengan Amerika, dia diperintahkan untuk segera meninggalkan kamp. Saat itu jam 3 pagi. Dua rekan Afghanistan lainnya juga telah diberitahu untuk pergi. Bersama-sama, mereka meminta izin untuk tinggal sampai subuh karena tidak ada kota atau desa di dekat kamp yang bisa mereka kunjungi pada jam itu, tetapi permintaan mereka ditolak.

 

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement