Kamis 24 Jun 2021 06:03 WIB

Dikhianati: Kisah Tragis Penerjemah AS di Afghanistan

Warga lokal yang menjadi penerjemah tentara AS di Afganistan hidup dalam ketakutan

Keempat dari kiri, barisan belakang, Zabiullah Zyah, yang bekerja sebagai penerjemah untuk militer AS di Afghanistan selama kurang dari dua tahun antara 2010 dan 2012, berfoto bersama tim Penembak Jitu Marinir AS dan Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan di sebuah pos pemeriksaan dekat kota Marjah, provinsi Helmand.
Foto:

Tidak ada tempat bersembunyi 

Selama berminggu-minggu, Jamil hidup dalam persembunyian dengan kontak terbatas dengan dunia luar. Bahkan setelah kontraknya diputus, dia masih dianggap sebagai target yang sah oleh Taliban. Dia mengatakan dia menerima beberapa panggilan telepon yang mengancam dari nomor tak dikenal yang memberitahunya apa yang akan terjadi jika Taliban menemukannya.

Ketika tekanan hidup dalam persembunyian, mencari pekerjaan dan mengatasi meningkatnya jumlah ancaman terhadap hidupnya, Jamil memutuskan untuk melarikan diri dari Afghanistan. Pada musim panas 2012, ia terbang ke Iran, sebelum melintasi perbatasan ke Turki. Dari sana ia pergi ke Yunani, lalu Denmark dan akhirnya Norwegia.

Jamil pun menghabiskan empat tahun berikutnya di Norwegia, berharap dia akan diberikan suaka di sana. “Hidup kami baik di Oslo. Saya punya pekerjaan dan berpenghasilan baik."

Namun kasusnya ditolak, dan dia diberi tahu: “Tentara AS menawarkan para penerjemah kesempatan untuk tinggal di AS; kenapa kamu tidak pergi dan melamar dari Kabul?” Akibatnya, dia kemudian dideportasi kembali ke Afghanistan pada 2016.

Korengal Valley Foto e immagini stock - Getty Images

Keterangan foto: Para tetua desa berbicara dengan seorang Marinir AS melalui seorang penerjemah pada tahun 2008 di Lembah Korengal provinsi Kunar di Afghanistan timur [File: John Moore/Getty Images]

Setelah kembali ke Afghanistan, Jamil kemudian memulai proses panjang untuk mengajukan SIV pada tahun 2016. Tragisnya, sepanjang waktu itu ternyata hanya hanya untuk menerima surat penolakan yang menyatakan “kurangnya pengabdian” pada akhir tahun 2020. Selama ini, Jamil telah mengajar bahasa Inggris di sebuah pusat bahasa di Kabul. Tapi dia tidak melupakan pengabdiannya dengan militer AS.

“Saya telah melalui cobaan yang sama dengan [anggota] tentara AS. Saya memiliki bekas luka yang akan bersama saya selamanya. Jika ini tidak membuktikan pengabdian saya yang setia, maka saya tidak benar-benar tahu apa yang akan saya lakukan,” katanya.

“Saya tidak bisa mendiskusikan fase hidup saya ini dengan siapa pun. Fase yang harus terus memberi makan keluarga saya dan mereka sekarang menentang saya, ”tambahnya.

Karena tidak dapat mengumpulkan bukti terdokumentasi yang cukup untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut dan membuktikan "pelayanannya yang setia dan berharga" dalam waktu yang ditentukan 120 hari setelah menerima keputusan, Jamil mengajukan permohonan kembali untuk SIV pada tahun 2021. Ia berharap mendapatkan surat rekomendasi baru itu.

“Saya terus-menerus hidup dalam ketakutan dan harapan. Takut setiap saat saya bisa terbunuh dan berharap saya bisa diselamatkan,” kenang Jamil.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement