IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan webinar internasional bertajuk 'Konsep Islam Wasathiyah: Nilai, Prinsip, Indikator dan Penjelasannya'. Pakar dan ulama dari dalam dan luar negeri turut hadir dalam agenda tersebut.
Webinar ini dibuka oleh Ketua MUI bidang hubungan luar negeri dan kerja sama internasional Sudarnoto Abdul Hakim. Narasumber webinar, antara lain Pendiri Nahdlatul Ulama Afghanistan (NUA) Fazal Ghani Kakar, Syekh Aziz al-Kubaity al-Idrisi al-Hasani dari Maroko, Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Masykuri Abdillah, dan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sekar Ayu Aryani.
Sudarnoto menyampaikan, program moderasi atau wasathiyah Islam sangat penting dalam upaya mencegah radikalisme dan intoleran di tengah berkembangnya ekstremisme dalam memahami ajaran agama. Sikap ekstrem dalam beragama semakin mencemaskan karena mengoyak persaudaraan dan persatuan baik antarumat beragama maupun internal umat Islam.
"Peristiwa pembunuhan yang terjadi di kota London, Kanada, yang menewaskan keluarga Muslim adalah contoh nyata bentuk Islamofobia yang sangat mengkhawatirkan. Kita semua mengutuk keras cara-cara ekstrem seperti itu," kata Sudarnoto saat membuka webinar melalui keterangan pers yang diterima, Ahad (27/6).
Dia melanjutkan, MUI memiliki peran, tugas dan tanggung jawab yang cukup besar untuk mengadang berkembangnya ekstremisme beragama, termasuk sikap Islamofobia. Salah satu langkahnya dengan mengarusutamakan pandangan dan nilai-nilai moderasi beragama, khususnya yang terdapat di dalam ajaran Islam moderat.
Sementara itu, Fazal Ghani Kakar menuturkan, semua agama menolak logika radikalisme. Karakteristik utama moderasi tidak memihak melainkan bersikap secara adil dengan tidak ekstrem dalam bersikap. "Afganistan perlu untuk lebih memahami tentang moderasi Islam dalam upaya menangkal radikalisme dan kami telah belajar banyak tentang moderasi dari Nahdlatul Ulama," kata kepala Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) Afghanistan itu.
Narasumber lain, Syekh Aziz al-Kubaity al-Idrisi al-Hasani menjelaskan, Indonesia dan Maroko memiliki kesamaan dalam tiga hal, yaitu kecintaan terhadap ahlul bait, mengikuti tasawuf, dan pemuliaan terhadap para wali dan orang-orang saleh. Salah satu Wali Songo, Syekh Abdul Malik Ibrahim adalah ulama maroko. "Persamaan lain antara kedua negara adalah keberagamaan yang moderat," tuturnya.
Guru Besar Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Masykuri Abdillah, menekankan Islam hadir ke alam dunia ini membawa misi Islam yang rahmatan lil alamin. Meski begitu, dalam perjalanannya, Islam juga diwarnai dengan sikap dan tindakan berlebihan serta ekstrem, baik dalam konteks akidah, ibadah, maupun dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
"Untuk mengimbangi sikap ekstrem itu, umat Islam harus senantiasa mengarusutamakan nilai-nilai Islam moderat. Wakil Presiden juga telah meminta Bappenas agar memasukkan moderasi beragama ke dalam rencana pembangunan jangka pendek dan jangka panjang," ujar dia.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sekar Ayu Aryani, Islam wasathiyah dapat diwujudkan dengan kajian ilmu dengan tetap menanamkan sikap terbuka dan kritis. Dia juga menambahkan, pluralisme harus diterjemahkan secara bijak. "Kita menampilkan agama kita dalam konteks agama lain atau dengan mempertimbangkan agama lain. Kita mengapresiasi agama lain, kita menyadari bahwa kita tidak hidup sendiri namun ada agama lain," paparnya.