IHRAM.CO.ID, Seperti diketahui Walikota Amsterdam, Wali Kota Amsterdam Femke Halsema pada Kamis 1 Juli 2021 meminta maaf atas keterlibatan kotanya dalam jaringan perdagangan budak global pada masa kolonialisme di masa lalu.
Lalu seperti apa kisah kelam kota itu di masa lalu menjadi salah satu pusat jaringan yang menyebarkan perbudakan dan kolonialisme. Bahkan soal perbudakan di Amsterdam ini terkait dengan kota baru di Amerika Serikat yang didirikan dengan jasa para budak yang berasal dari Amsterdam. Kota tersebut yang dahulu merupakan koloni Belanda,sekarang di kenal dengan sebutan New Amsterdam.
Dalam sejarahnya Nieuw Amsterdam atau New Amsterdam (berarti Amsterdam Baru) memang nama dari daerah pemukiman berbenteng di koloni Provinsi Belanda Baru pada abad ke-17 yang selanjutnya menjadi New York City. Kota ini didirikan pada tahun 1625 oleh Hindia Barat Belanda.
Wilayah Nieuw Amsterdam di Amerika Serikat terletak di ujung selatan pulau Manhattan yang strategis. Tempat ini sangat bagus terutama untuk melindungi jalur masuk usaha perdagangan bulu yang dikuasai perusahaan tersebut yang berada di Lembah Hudson.
Nieuw atau New Amsterdam kemudian berkembang menjadi daerah pemukiman kolonial Belanda terbesar di Amerika Utara dan berada di kekuasaannya hingga tahun 1664 dan wilayah ini sempat jatuh untuk sementara waktu ke tangan Inggris.
Tapi, Belanda merebutnya kembali pada tahun 1673 dan menamakannya "Nieuw Oranje" ("New Orange"). Namun tak lama kemudian Belanda menyerahkannya kembali secara permanen ke tangan Inggris pada tahun 1674.
Kisah hubungan perdagangan budak antara Amsterdam di Belanda dengan koloninua di Amerika Serikat itu di tulis oleh Andrea C. Mosterman dalam tajuk 'Perbudakan di New Amsterdam' (Slavery In New Amsterdam). Karya ini ada dalam situs mcny.org. Dia adalah adalah seorang asisten profesor dalam Sejarah Atlantik di Universitas New Orleans
Tulisan itu selengkapnya begini:
Perbudakan menjadi bagian integral dari ekonomi dan masyarakat New Amsterdam hampir sejak masa awal. Pada awal 1626, orang Afrika yang diperbudak tinggal di kota kolonial Belanda itu. Terutama selama tahun-tahun awal pemukiman mereka, budak merupakan bagian penting dari populasi kota tersebut.
Dan saat membayangkan perbudakan, maka kita langsung cenderung memikirkan perkebunan besar di Karibia atau AS Selatan abad ke-18 dan 19. Kehidupan penduduk New Amsterdam yang diperbudak sangat berbeda dari orang-orang yang diperbudak di perkebunan-perkebunan itu. Jadi sebenarnya perbudakan di New Amsterdam memiliki karakter yang berbeda.
Sebagian besar penduduk New Amsterdam yang diperbudak adalah milik Perusahaan Hindia Barat Belanda. Kompeni menggunakan budak laki-laki dan perempuan untuk membantu membangun benteng New Amsterdam, mengembangkan infrastruktur koloni, bekerja di pertanian lokal, dan melindungi pemukiman awal dari serangan penduduk asli Amerika.
Setidaknya sebagian dari pekerjaan mereka dilakukan dalam geng-geng berantai dengan seorang pengawas yang ditunjuk yang memastikan bahwa para budak ini menyelesaikan pekerjaan mereka dengan benar. Budak Kompeni ini tinggal di rumah-rumah yang terletak di daerah di luar pemukiman utama.
Seiring waktu, semakin banyak pemukim individu yang memiliki budak. Namun para pekerja yang diperbudak ini kala itu tidak bekerja di perkebunan besar. Sebaliknya, banyak dari budak laki-laki, perempuan, dan anak-anak ini bekerja di pertanian, bekerja di dermaga, menjadi pembantu rumah tangga, atau membantu perajin Belanda di tempat kerja.
Beberapa pemukim menyewa budak atau menyelesaikan pertanian dari Kompeni, tetapi kebanyakan dari mereka membeli budak mereka baik dari Perusahaan India Barat atau dari pemilik budak lainnya.
Pasar perdagangan budak lokal tidak pernah matang pada masa penjajahan Belanda. Namun demikian, beberapa lelang budak memang terjadi di New Amsterdam.
Di pelelangan pada bulan Mei 1664, misalnya, Kompeni menjual hingga 30 budak kepada 20 penduduk kota dengan harga berkisar antara 255 sampai 615 gulden; seorang wanita yang diperbudak dan anaknya dijual bersama seharga 360 gulden.
Dua kapal budak besar tiba di New Amsterdam: Witte Paert pada 1655 dan Gideon pada 1664. Tetapi dalam periode waktu yang sama ini, sebagian besar tawanan Afrika tiba di koloni dalam jumlah yang relatif kecil di atas kapal yang membawa berbagai orang dan barang dari koloni Belanda, Curaçao.
Meskipun populasi budak New Amsterdam berasal dari berbagai bagian Afrika dan Amerika, mayoritas populasi budak paling awal berasal dari Afrika Tengah Barat. Nama mereka, seperti Manuel Congo atau Isabel D'Angola, mengungkapkan asal Afrika Tengah Barat mereka. Karena kami tahu dari mana banyak orang Afrika yang diperbudak di New Amsterdam berasal. Maka kami dapat lebih memahami kehidupan dan budaya mereka di New Amsterdam.
Hal ini misalnya, bila nama budak itu memakai nama depan Katolik dan Portugis. Maka menunjukkan bahwa mereka mungkin beragama Kristen sebelum mereka mencapai New Amsterdam.
Hal ini tentu tidak mengherankan, karena sejumlah besar orang Afrika Tengah Barat telah memeluk agama Kristen pada abad ke-16 dan ke-17.
Budak-budak Katolik ini menikahkan dan membaptis anak-anak mereka di Gereja Reformasi Belanda, satu-satunya Gereja Kristen yang diizinkan di koloni itu.
Pernikahan budak yang tercatat paling awal di gereja adalah pada tahun 1641 antara Anthony van Angola dan Lúcie D'Angola, tetapi yang lainnya segera menyusul. Sedikitnya 30 anak budak Afrika dibaptis di gereja antara tahun 1639 dan 1645.
Sesama budak Afrika menjadi saksi dalam peristiwa ini, dan dengan melakukan perkawinan mereka menciptakan hubungan kekerabatan yang kuat sebagai cara untuk menggantikan untuk ikatan keluarga yang telah hilang ketika mereka diperbudak dan diangkut melintasi Atlantik.
Dan berbeda dari kebiasaan di banyak masyarakat budak, otoritas kolonial serta pemukim individu di New Amsterdam mengakui dan sering menghormati pernikahan budak dan hubungan orang tua. Ketika Jeremias van Rensselaer membeli seorang pria yang diperbudak dari Petrus Stuyvesant, direktur koloni mendesak Van Rensselaer untuk juga membeli istri pria itu.