Sebaliknya, suasana Batavia kala itu malah mengungkapkan hierarki yang melekat pada masyarakat Belanda baik di dalam maupun di luar negeri pada abad ketujuh belas. Beberapa penampilan status yang terkait dengan praktik lokal—seperti payung—adalah di Batavia saat itu hal biasa sebagai cermin masyarakat kolonial.
Kooptasi simbol-simbol lokal terbukti efektif baik untuk menegaskan dominasi maupun memperumit peran pihak luar penjajah. Penjajah memiliki kecemasan yang sama tentang mempertahankan kontrol seperti penguasa pribumi yang menunjukkan bentuk ritualistik yang sama.
Namun berbeda dengan orang Belanda, para penguasa pribumi status mereka saat itu sangat lemah dalam kaitanya dengan hubungan populasi yang lebih besar di Batavia dan di seluruh kawasan Hindia Timur.
Adanya penegasan dominasi itu sendiri menyebabkan ketidaknyamanan bagi penjajah Belanda. Dan cara ini nagi Belanda malah semakin menegakkan hierarki untuk menyembunyikan dominasi mereka.
Maka tanpa disadari ini juga memantik sehingga perpecahan sosial yang itu dilakukan melalui regulasi terbuka. Sebaliknya, lingkungan binaan Batavia dimaksudkan untuk melakukan pekerjaan membentuk populasi kota yang beragam menjadi semakin mempunyai hierarki yang hanya melayani kebutuhan kolonial.
Keinginan untuk menghindari tanda-tanda dominasi yang jelas ini berkontribusi pada reputasi Belanda yang tidak layak pada periode VOC itu. Mereka disebut sebagai pedagang yang adil, bukan penjajah, yang bertentangan dengan kekuatan kolonial Eropa lainnya.
Bentuk Batavia sendiri, yang dibangun mengikuti prinsip-prinsip perencanaan kota Belanda abad ketujuh belas tertentu, pada awalnya sebenarnya pun hanya dibuat untuk melayani kepentingan VOC dengan mengatur masyarakat Batavia ke dalam hierarki yang dipimpin oleh Belanda.
Kota ini, yang dipenuhi dengan bangunan bergaya Belanda (terlihat di latar belakang lukisan Beeckman dan Cuyp di atas itu), memberikan pernyataan identitas Belanda yang dapat dikenali dan meyakinkan bagi segmen atas masyarakat Batavia, yang meskipun bersatu, dapat mendominasi penduduk yang tersisa.
Maka dalam lukisan itu tersembunyi rencana Belanda untuk menghambat gerakan yang mengorganisir orang Batavia ke dalam kelompok etnis yang berbeda, dengan berbagai tingkat akses di dalam kota.
Nantinya pemisahan sosial di Batavia kemudian dikodifikasikan oleh tata ruang Batavia itu sendiri sendiri: yakni dengan adanya rencana kota memisahkan populasi dengan kanal dan tembok kota yang tidak dijembatani.
![photo](https://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/para-budak-di-batavia-memayungi-tuan-koloninya-dalam-sebuah_210704125641-694.jpg)
Tapi bila disadarkan tesis pada karya para sarjana dari lingkungan binaan kolonial, seperti Swati Chattopadhyay dan Brenda Yeoh, yang masing-masing menjelaskan pengalaman dari pemisahan yang terjadi di Kalkuta dan Singapura. Para penulis ini melihat bagaimana penjajah dan terjajah berfungsi di dalam kota-kota yang sudah dibangun ini. Jadinya keduanya menciptakan dan memperkuat stratifikasi sosial kolonial.
Batavia memang berbeda dari kedua kota ini dalam hal arsitektur dan tata letaknya sendiri yang memberlakukan pemisahan ini.
Dan bila meneliti rencana Batavia dan hubungannya dengan prinsip-prinsip perencanaan Belanda abad ketujuh belas pada sisi lain memang ada anggapan adanya hal menyesatkan untuk memahami Batavia. Kota ini tidak seperti yang digambarkan beberapa sarjana, sebagai representasi tatanan pragmatis dan egaliter yang kemudian dirusak oleh situasi kolonial.
Namun, pada kenyataannya justryu sebaliknya. Bahkan, stratifikasi dan segregasi sosial Batavia dengan cara tertentu diturunkan langsung dari rencana Belandanya. Dan salah satunya dari gambaran dengan bersliewerannya budak laki dan permpuan di Batavia yang melayani tuan kolono Belanda. Mereka merupakan warga pribumi nusantara dan pendatang.