REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Seong Hyeon Choi, peneliti Asian Religious Connection (ASIAR), kelompok keagamaan di bawah Institut Hong Kong untuk Humaniora dan Ilmu Sosial di Universitas Hong Kong, menulis sebuah kolom tentang dispora Muslim Tionghoa di Makkah.
Dia mengawalinya dengan menyebutkan bahwa sejak Xi Jinping pertama kali mengusulkan "Jalur Sutra Abad 21" selama kunjungannya ke Kazakhstan pada 2013 yang dinamai Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI). BRI, yang juga bisa disebut sebagai Prakarsa Jalur Sutra Modern China ini, telah didefinisikan sebagai regenerasi perdagangan China dengan Eurasia, dan telah berkembang serta menjadi pusat perhatian hubungan ekonomi dengan Asia Tengah dan Timur Tengah.
Mengingat Jalur Sutra kuno yang menghubungkan Eropa dan Timur Tengah dengan dinasti kekaisaran China, China telah menginvestasikan upaya dan modalnya untuk merevitalisasi infrastruktur dan meningkatkan pertukaran ekonomi dengan negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, setelah berkomitmen 1,4 triliun dolar untuk rencana ini.
Jalur Sutra kuno, pada kenyataannya, tidak secara eksklusif tentang perdagangan tetapi juga memfasilitasi banyak jenis pertukaran antara China dan negara-negara lain di sepanjang rute kuno. Pertukaran ini terutama terlihat di kawasan Timur Tengah, di mana Islam adalah agama yang dominan.