IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Gerald Mario Semen mengatakan bahwa rancangan undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) belum memiliki urgensi. Pasalnya, tingkat konsumsi alkohol di Indonesia masih sangat rendah.
"RUU tentang Larangan Minol tidak memiliki urgensi yang tinggi karena berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2018, penggunaan prevelensi konsumsi penggunaan alkohol masih jauh lebih kecil," ujar Gerald dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (14/7).
Berdasarkan data Riskesdas, prevelansi penggunaan alkohol pada usia lebih dari 10 tahun pada 2007 sebesar 3,0 persen dan pada 2018 sebesar 3,3 persen, yang urgensinya rendah. Berbeda dengan yang terjadi pada rokok.
Dari data Riskesdas, prevelansi merokok pada usia lebih dari 10 tahun pada 2007 sebesar 28,8 persen dan pasa 2018 sebesar 29,3 persen. Kesimpulan dari data tersebut, bawa urgensi terhadap rokok seharusnya lebih tinggi.
"Mempertimbangkan urgensi ini yang yang perlu kita atur dalam UU ini ke depan adalah memang alkohol ini memang tak dibatasi total, tapi yang perlu kita batasi," ujar Gerald.
Menurutnya, alangkah lebih tepat jika RUU tersebut menggunakan diksi pengaturan atau pengendalian, ketimbang pelarangan. Pasalnya, masih ada agama dan budaya dalam momen tertentu harus mengkonsumsi alkohol.
"Perlu kita batasi kalau memang ada penggunaan alkohol pada masyarakat tadi terkait adat atau terkait dengan budaya tertentu," ujar Gerald.
Di samping itu, perlu adanya peraturan daerah yang menjabarkan dan berkesinambungan dengan RUU tersebut. Hal ini bisa disesuaikan dengan kondisi masyarakat di daerah masing-masing terhadap penggunaan alkohol.
"Karena tidak semua provinsi memiliki angka pengguna alkohol yang merata. Barangkali lebih bagus dari UU, barangkali ada perintah pada daerah-daerah untuk membuat Perda," ujar Gerald.