IHRAM.CO.ID Pada 1911, KH Abdul Halim kembali ke Tanah Air. Dengan bekal keilmuan tersebut, dia bertekad memajukan ma syarakatnya di dalam bingkai keislaman dan perjuangan melawan penjajahan. Barang kali karena itulah dia tidak tertarik masuk ke dalam birokrasi kolonial, umpamanya, sebagai penghulu resmi.
Pandangan KH Abdul Halim ini juga didukung konteks zaman saat itu. Pada awal abad ke-20, di Indonesia sedang tumbuh semangat nasionalisme dan modernisme. Hal itu ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi di tengah masyarakat pribumi Muslim yang menggugat piramida sosial bentukan penjajah. Di dalam sistem demikian, orang pribumi menduduki posisi amat hina.
Salah satu organisasi yang paling mengemuka pada waktu itu adalah Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirkan pada 1905 oleh Haji Samanhudi. SDI diben tuk sebagai respons kelas menengah Muslim atas hegemoni pedagang Barat dan Timur Asing (Cina) di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Tujuh tahun kemudian, SDI yang telah menjadi Sarekat Islam (SI) dipimpin tokoh kharismatik dari kelas pedagang Muslim, HOS Tjokroaminoto.
Semangat kebangkitan kaum wirausahawan pribumi juga sampai ke Jawa Barat, tempat KH Abdul Halim menetap. Menurut Miftahul Falah, KH Abdul Halim juga memiliki ikatan yang kuat dengan pergerakan SI. Dia pernah menge palai kantor cabang SI untuk Majalengka. Salah satu kiprahnya adalah mengatur jalannya aksi pemogokan di Jatiwangi. Karena itu, dia sempat ditangkap pemerintah kolonial Belanda, meski kemudian dilepaskan lagi akibat tidak cukup bukti.