IHRAM.CO.ID, KABUL – Atlet Sepeda Afghanistan Masomah Ali Zada mulai debutnya pada Olimpiade Tokyo yang dijadwalkan pada pekan ini dengan rute 22 kilometer dekat Gunung Fuji. Saat remaja, Masomah telah bergabung dengan tim nasional dan selalu berharap melakukan yang terbaik.
“Saya sangat bangga padanya dan semua anggota tim. Kami sangat menantikan untuk menyaksikan aksinya,” kata Asisten Direktur Pengembangan Divisi Wanita Federasi Bersepeda Afghanistan Zahla Sarmat.
Baginya dan rekan-rekan pesepedanya, Ali Zada adalah sumber inspirasi besar. Menurut Sarmat, Ali Zada mewakili pemberdayaan perempuan di Afghanistan. Sebab, ia sudah melalui lika-liku perjuangan sebagai atlet pesepeda wanita di Afghanistan. Momen Ali Zada dalam sorotan datang pada saat yang sulit bagi sesama pesepeda Afghanistan di mana kekerasan telah meningkat sejak Presiden AS Joe Biden mengumumkan semua pasukan AS akan pergi pada 11 September.
Faktanya, hampir semua dari mereka telah ditarik, bersama dengan Inggris dan kelompok Taliban telah meluncurkan serangkaian serangan besar, mengambil distrik, penyeberangan perbatasan penting, dan mengepung beberapa ibu kota provinsi.
Ketidakmampuan nyata tentara Afghanistan untuk menahan para militan dilaporkan telah mendorong badan-badan intelijen AS untuk merevisi perkiraan mereka tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan pemerintah untuk runtuh. Skenario seperti itu akan menjadi bencana bagi perempuan di Afghanistan yang hidup dalam ketakutan akan kembalinya kekuasaan Taliban.
Bahkan jika itu tidak terjadi, peningkatan kekerasan yang terus berlanjut bisa memaksa rekan satu tim lama Ali Zada di Kabul keluar dari profesinya. Kapten Tim Wanita Rukhsar Habibzai selalu berharap agar Afghanistan menjadi tempat yang aman bagi wanita.
“Tapi saya yakin kelompok Taliban tidak akan pernah mengizinkan perempuan untuk belajar dan bekerja. Bagaimana mereka mengizinkan kita untuk bersepada?” ujar dia.
Dilansir The Guardian, Kamis (29/7), Habibzai jatuh cinta dengan bersepeda saat usia sembilan tahun. Dia tumbuh di Provinsi Ghazni dan belajar tentang bersepeda. “Bersepeda memberi saya perasaan yang sangat menyenangkan. Seolah-olah saya memiliki sayap untuk terbang dan tidak memiliki rasa takut. Ini telah menjadi bagian dari hidup saya,” tuturnya.
Awalnya, pihak keluarga Habibzai khawatir akan keselamatannya. Sebab pesepeda wanita kerap kali mengalami pelecehan verbal dan fisik. Para lelaki yang baru pertama kali melihat akan melempari batu dan memukulnya. Untuk menghindari permusuhan, banyak pesepeda wanita yang terbiasa keluar di pagi hari sekitar pukul 05.00 sampai pukul 08.00 pagi.
Terlepas dari semua masalah ini, bersepeda di kalangan wanita semakin populer. Mulai dari kelompok kecil satu dekade lalu menjadi 220 kontingen wanita dalam federasi bersepeda. Ada tujuh tim provinsi wanita dan perlombaan wanita tahunan diadakan di Kabul setiap musim panas.
Habibzai mengatakan selama dua bulan ini dia merasa tidak bisa mengikuti pelatihan jarak jauh dari ibu kota yang biasa dia lewati. Misalnya ke Bagram yang sampai saat ini pangkalan udara utamanya di AS. Ketakutan ini membuat ia menderita depresi.
“Tidak mudah bagi kami untuk mengendarai sepeda akhir-akhir ini. Terlebih sejak tentara AS mengumumkan kepergian mereka, situasinya menjadi lebih buruk dan kami dalam bahaya, sejujurnya,” ucap dia.
Menurut Misi Bantuan PBB di Afghanistan (Unama), jumlah total korban selama kuartal pertama tahun ini adalah 1.783 (573 tewas dan 1.210 terluka). Jumlah tersebut naik 29 persen pada periode yang sama tahun 2020.
Baik Habibzai maupun Sarmat memiliki mimpi besar untuk masa depan. Yang pertama belajar untuk menjadi dokter gigi dan baru-baru ini mendirikan klub bersepeda Cheetah khusus wanita. Sementara mimpi kedua adalah membagi waktunya antara Afghanistan dan Singapura di mana dia berharap untuk belajar astrofisika di sekolah pascasarjana dan membawa kembali keahlian itu ke negara asalnya.