IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Muslim Indonesia sering merayakan lebaran anak yatim pada tanggal 10 Hijriah/Muharram. Perayaan tersebut ada yang menentang tetapi tidak sedikit pula yang melestarikan.
"Kalau Indonesia memang ramai budaya seperti ini, hampir setiap masjid serta majlis taklim mengadakan perayaan tahun baru Islam, disertai di dalamnya santunan anak yatim karena memang bulan muharram, tepatnya tanggal 10 adalah lebarannya anak yatim," tulis Ahmad Zarkasih Lc dalam bukunya "Sejarah Kalender Hijriyah"
Ahmad Zarkasih mengatakan, tradisi ini muncul karena banyaknya hadits-hadits perihal fadhilah menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram. Oleh karena itu, tanggal 10 Muharram seolah menjadi tanggal dan bulannya anak yatim.
"Sehingga banyak orang menyebutnya lebaran mengingat makna lebaran adalah hari bersenang-senang. Begitu juga di tanggal ini, anak yatim sedang senang-senangnya karena banyak yang sayang," katanya.
Ahmad Zarkasih mengatakan, di antara hadits-hadist tersebut ialah:
"Siapa orang yang menyusap kepala anak yatim (menyantuni/menyayangi) pada hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajatnya sebanyak rambut anak yatim tersebut yang terusap oleh tangannya" (Hadits ke 212 dari kitab Tanbih al-Ghafilin).
Namun, hadits-hadits tentang keutamaan menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram itu dhaif alias lemah atau tidak shahih. Hal ini menjadikan beberapa kelompok Islam lainnya mengharamkan praktek ini.
"Bahkan mereka mengatakan itu adalah sebuah bid’ah, yaitu perkara yang mengada-ada dalam agama yang agama sendiri tidak memberikan tuntunan untuk itu," katanya.
Bagi mereka, menyantuni anak yatim itu ibadah yang tidak boleh dikhususkan pada waktu-waktu tertentu saja, akan tetapi itu adalah pekerjaan sepanjang masa.
"Mereka mengatakan memang benar hadits itu dhaif, tapi apakah mengamalkan hadits dhaif itu mutlak diharamkan?"
Nyatanya ulama jumhur membolehkan mengamalkan hadits dhaif dengan beberapa syarat. Imam alNawawi menyebutkan dalam kitabny Azkar (hal. 8). Para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih ada yang mengatakan.
"Boleh dan disukai mengamalkan hadits dhaif dalam perkara fadhail a’mal, targhib (memotivasi) serta tarhiib (memberikan peringatan) selama haditsnya tidak maudhu (palsu)," katanya.
Karena, walaupun itu hadits dhaif, tapi ada hadits lain yang menaunginya secara umum, yaitu hadits keutamaan menyantuni anak yatim secara umum tanpa mengkhsuskan hari. Artinya praktek santunan anak yatim di hari asyura dinaungi oleh hadits umum tersebut.
"Ulma jumhur mengamalkan hadits dhaif Imam Nawawipun membolehkan selain yang disebutkan selama memang ada hadits shahih yang menaunginya walaupun secara umum," katanya.