Setahun berikutnya, Kiai Muhyiddin ikut meredam pemberontakan yang dilakukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pihak yang hendak meneguhkan pemerintahan sendiri itu mengancam keutuhan Indonesia.
Sebagai seorang ulama yang disegani, Kiai Muhyiddin dengan tegas bersikap menolak keberadaan DI/TII. Sayangnya, justru terdapat sejumlah murid Kiai Muhyiddin di Hizbullah yang masuk dalam kelompok pimpinan Kartosuwiryo itu. Kondisi demikian tentu merugikan Kiai Muhyiddin karena bisa dianggap sebagai simpatisan DI/TII.
Akhirnya, pasukan TNI pun sempat terseret arus kecurigaan. Mereka mulai memata-matai pergerakan Kiai Muhyiddin. Dikiranya, sang ulama adalah seorang pro-pemberontak DI/TII. Menyadari adanya kecurigaan tersebut, ia dan para pengikutnya pun terpaksa mengungsi ke Kabupaten Sumedang.
Setelah sampai di sana, Kiai Muhyiddin kemudian mendirikan Pesantren Pagelaran II. Ia pun membuka lagi majelis-majelis pengajian bagi para santri dan masyarakat setempat. Adapun Pondok Pesantren Pagelaran I di Cimeuhmal,Tanjungsiang, saat itu sudah mulai ditinggalkan. Sebab, area yang ada terlanjur direbut dan dijadikan sebagai salah satu markas DI/TII.