Atas kekhawatiran tersebut, Haqqani mengatakan akan ada sumber daya yang cukup, termasuk diantaranya guru perempuan. Bahkan, jika jumlah pengajar perempuan tidak mencukupi, maka sekolah bisa menggunakan pengajar laki-laki dari ‘balik tirai’ ataupun memanfaatkan teknologi.
Perempuan juga diminta mengenakan jilbab, namun Haqqani belum merinci apakah termasuk penggunaan penutup wajah seperti burqa diwajibkan. Selain aturan pemisahan laki-laki dan perempuan serta pakaian, nantinya mata pelajaran yang diajarkan, secara khusus di Universitas akan ditinjau.
“Menciptakan kurikulum yang masuk akal dan Islami yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, nasional dan sejarah kita dan, di sisi lain, mampu bersaing dengan negara lain,” ujar Haqqani dalam sebuah pernyataan, dilansir RNZ, Senin (13/9).
Sejak Taliban digulingkan dari kekuasaan pada 2001, kemajuan besar telah dibuat dalam meningkatkan pendidikan dan menghapuskan buta huruf di Afghanistan, terutama untuk anak. Sebuah laporan baru-baru ini oleh cabang pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, mengatakan bahwa jumlah anak perempuan di sekolah dasar telah meningkat dari hampir nol menjadi 2,5 juta dalam 17 tahun terakhir.
Laporan itu juga mengatakan tingkat kemampuan baca dan tulis perempuan hampir dua kali lipat dalam satu dekade menjadi 30 persen. Namun, Pemerintah baru yang dipimpin Taliban saat ini telah menggantikan Kementerian Urusan Wanita dengan Kementerian Kebaikan dan Kebajikan.