Senin 13 Sep 2021 13:38 WIB

KH Idham Chalid, Guru Politik Warga Nahdliyin (I)

Sebagai seorang pemuda, Idham tekun belajar ilmu-ilmu agama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Idham Chalid

Sebagai seorang pemuda, Idham tekun belajar ilmu-ilmu agama. Dia juga sering diundang untuk mengisi cera mah pada berbagai acara dan pertemuan. Namanya semakin dikenal, termasuk di kalangan para pemuka agama daerah setempat.

Keluarganya menghendaki Idham agar terus melanjutkan pendidikannya.Sebab, sayang sekali jika kecerdasan yang dimiliki pemuda ini tidak dikembangkan dengan menempuh studi setinggi-tingginya. Akhirnya, Idham mendaftar ke Pondok Pesantren Modern Gontor.

Di Gontor, dia belajar pada Kulliyah al-Muallimin al-Islamiyah. Selain itu, pernah pula menempuh studi di tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw. Setelah lima tahun mondokdi Gontor, Idham mampu menyelesaikan pendidikannya lebih cepat diban dingkan santri lainnya. Pada 1943, ia pun meneruskan studinya ke Jakarta.

Tidak lama kemudian, Idham kembali ke Gontor untuk menjadi guru sekaligus wakil direktur di sana. Dalam periode 1943-1944 atau masa pendudukan Jepang, dia terus mengabdi di ins titusi itu. Kemampuannya dalam berorganisasi pun semakin meningkat.Pada masa itu, dia sudah mengusai sejumlah bahasa asing, yakni Arab, Inggris, dan Jepang.

Pihak Jepang sangat senang dengan adanya anak muda pribumi yang menguasai bahasa mereka. Bahkan, otoritas Dai Nippon sempat mengundang Idham ke Negeri Matahari Terbit. Seorang tokoh NU, Saifuddin Zuhri, mengaku sempat menyaksikan saat Idham tampil sebagai penerjemah untuk seorang pejabat Jepang yang berbicara di depan alim ulama.

Selain tiga bahasa asing itu, Idham juga fasih berbahasa Belanda. Adapun bahasa Prancis dan bahasa Jerman dikuasainya secara pasif. Dengan demikian, ulama ini layak disebut sebagai poliglot lantaran memahami setidak nya enam bahasa internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement