IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Penyelenggaraan ibadah haji Urang (masyarakat) Banjar yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu, banyak menyisakan koneksi. Sampai saat ini masyarakat Banjar di Arab Saudi masih terhubung dengan masyarakat Banjar di tanah air sekaligus masyarakat Arab Saudi.
Menurut penulis buku "Urang Banjar Naik Haji" ( Dr. Irfan Noor, M.Hum, Prof. Raihani, M.Ed., Ph.D, Muhammad Iqbal, M.Hum), minimal ada dua model koneksi atau jaringan yang bisa dilacak melalui cerita atau pengalaman Urang Banjar naik haji, walau, dalam kedua model tersebut bisa terjadi silang hubungan.
"Jaringan tersebut adalah jaringan keluarga, jaringan guru-murid, dan jaringan 'bubuhan' Banjar," katanya.
Pertama, jaringan keluarga. Keberangkatan Urang Banjar ke tanah suci sejak awal memang belum terlacak secara jelas maksud dan tujuannya selain beribadah haji, namun beberapa di antara mereka ada yang masih berdiam di sana dan malah ada yang sudah menjadi warga negara Saudi Arabia.
MHD menjelaskan bahwa beliau masih memiliki sanak famili di sana “Nenek saya dulu berangkat ke sana hanya memiliki keahlian menjahit saja, hingga kawin dengan orang Malaysia di sana dan bermukim di sana hingga sekarang”.
MSN memiliki cerita yang berbeda, “Ayah dan Ibu saya berangkat ke tanah suci, lalu bermukim di sana selama 45 tahun, hingga beranak empat saudara saya. Namun, setelah itu pulang ke Tambilahan lalu saya lahir di sini”.
Dia menambahkan ada memiliki beberapa sepupu yang masih mukim di sana hingga sekarang H. Asra yang menjadi jaringan Dam dan Badal Haji juga disebutkan oleh SLH memiliki keluarga di Kalimantan Selatan.
Dengan jaringan keluarga inilah beberapa jamaah haji Urang Banjar selalu mencari silsilah Keluarga yang tersisa dan masih bisa dihubungi.
Biasanya, hal tersebut menjadi alasan untuk mempermudah mereka dalam menjalani ibadah haji di sana. AQN, misalnya, memiliki keponakan di Makkah, sehingga selalu menjadikannya sebagai tempat untuk menitipkan beberapa benda yang biasanya bisa dipakai kembali, saat dia kembali datang ke Makkah.
Selain itu, juga menjadi tempatnya menyalurkan Dam atau Badal Haji yang dititipkan kepadanya. “Saya biasanya selalu membawakan beberapa rempah asli dari Indonesia untuk keluarga saya di sana” begitu cerita dari Asqalani.
Kedua, jaringan guru-murid. Tradisi Urang Banjar pergi ke tanah suci dalam sejarah memang bukan semata dalam keperluan naik haji semata, juga dalam rangka menuntut ilmu. Bahkan, tradisi menuntut ilmu ke Makkah ini bagi Urang Banjar sebetulnya sudah ada semenjak abad ke 18, hal ini dapat dilihat ketika dua ulama Banjar terkemuka Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari sama-sama menimba ilmu di kota Makkah selama lebih kurang 35 tahun lamanya.
Menurut cerita, pasca Arsyad al-Banjari, lahir Syeikh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau dilahirkan di Makkah tahun 1868. Syeikh Ali ini di masa hidupnya banyak menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syeikh Said Yamani, Syeikh Yusuf Al-Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As-Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al-Makki, Habib Ahmad bin Hasan AlAtthas,Habib Umar bin Salim Al-Atthas, Syeikh Mahfuz Termas, Syeikh Ahmad Fathani, Syeikh Zainuddin As-Sumbawi dan lainnya.