IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Haji adalah ibadah yang sarat dengan penggemblengan jiwa, penyucian hati, dan pembentukan kepribadian dalam setiap sisi manasik yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW. Maka sangat diharapkan setelah pelaksanaan ibadah ini seseorang bisa menjadi manusia paripurna dalam kepribadiannya, dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Jaminan surga bagi haji mabrur yang Allah sampaikan lewat lisan RasulNya hanya pantas bagi mereka yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima ini dengan baik," tulis H. Bashran Yusuf, Lc., MA dalam tulisannya "Haji dan Bahaya Maksiat".
Tentang hal ini, Rasulullah bersabda: "Barang siapa yang melaksanakan haji dan dia tidak berkata-kata kotor, tidak berbuat cabul, dan tidak melakukan perbuatan maksiat, maka dia kembali dari hajinya seperti hari ketika dia dilahirkan ibunya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Senada dengan hadits di atas Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 197 yang artinya:
"Haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata dan perbuatan cabul), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya bekal terbaik adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal."
H Bashran Yusuf mengatakan, hadits dan ayat ini memberi kita pelajaran penting untuk diabadikan dalam kehidupan beribadah kita sepulang dari tanah suci:
Pertama, melalui mahzhuratul ihram (larangan ketika berihram), ibadah Haji mendidik kita untuk menjadi hamba yang tunduk terhadap aturan yang telah digariskan, takut melanggar larangan yang telah Allah tetapkan baginya, dan menjadi hamba yang menjaga diri dan selalu berhati-hati terhadap maksiat sekecil apapun.
Kedua, larangan rafats (kata-kata dan perbuatan cabul) dalam haji mengajari kita kesabaran dalam menahan hawa nafsu/syahwat yang senantiasa memantik api kejahatan. Allah dalam surah Yusuf ayat 53 berfirman yang artinya:
"… Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku."
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah memalingkan wajah al-Fadhl bin Abbas karena melihat wanita dari Khats’am yang mendatangi beliau untuk bertanya di saat haji, karena khawatir setan akan terus bermain api di antara dua insan yang berbeda jenis ini.
Ketiga, larangan jidal (debat kusir, percekcokan, dan sebagainya) menginspirasi jamaah haji untuk memiliki kontrol diri dalam bertutur kata, sehingga ia selalu memastikan adanya manfaat dari kata yang terucap dan menjauhi omong kosong, apalagi celotehan yang menyakitkan.
Mu’adz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah SAW “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa lantaran ucapan kita?”, beliau menjawab: “Ibumu kehilangan dirimu wahai Muadz! Bukankah yang menelungkupkan wajah manusia ke dalam api neraka kecuali disebabkan lidah-lidah mereka?” (HR. Ibnu Majah).
Keempat, konsekuensi melanggar aturan manasik haji menandakan bahwa Allah Maha Adil, tidak menzalimi seorangpun dari hambaNya. Siapapun yang melanggar aturan hidup, berarti siap menanggung risiko dan akibatnya. Jikalau belum mendapat ganjarannya, itu bukan berarti Allah lalai, namun Allah hanya menunda sampai tiba waktunya.
Allah berfirman dalam surah Al-Jatsiyah ayat 21 yang artinya:
"Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan/maksiat itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu."