REPUBLIKA.CO.ID, KABUL - Sejak suaminya menjual dua putri mereka yang masih anak-anak untuk dinikahkan, Fahima menangis berkali-kali. Mereka terpaksa melakukannya untuk bertahan hidup di tengah kekeringan yang melanda Afghanistan barat.
Tidak mengerti dengan kesepakatan itu, Farishteh yang berusia 6 tahun dan Shokriya yang berusia 18 bulan duduk di sampingnya di tenda pengungsian berdinding batu bata. "Suami saya mengatakan apabila kami tidak menyerahkan putri-putri kami, kami semua akan mati karena kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Saya merasa bersalah menjual putri-putri saya," kata Fahima seperti dikutip Daily Sabah, Kamis (28/10).
Ia mengatakan saat ini banyak keluarga di Afghanistan yang menghadapi pilihan serupa. Putrinya yang tertua dihargai 3.350 dolar AS sementara yang bayi sebesar 2.800 dolar AS. Pembayaran dilakukan dengan dicicil selama beberapa tahun sampai putri-putri Fahima bergabung dengan keluarga baru pembeli. Suami mereka di masa depan juga masih anak-anak.
Afghanistan sudah mempraktilkan pernikahan anak-anak selama berabad-abad. Namun perang dan kemiskinan yang disebabkan perubahan iklim mendorong banyak keluarga membuat kesepakatan lebih cepat dan lebih awal. Orang tua anak laki-laki dapat mendorong tawar-menawar yang lebih sulit dan mengamankan anak-anak perempuan yang masih kecil sehingga pembayaran dapat dicicil lebih lama.
Pada Senin (25/10) lalu Program Pangan Dunia (WFP) memperingatkan mulai November mendatang lebih dari setengah populasi Afghanistan, atau sekitar 22,8 juta orang, akan menghadapi kerentanan pangan. Daerah yang paling terdampak kekeringan, Qala-i-Naw, diselimuti rasa malu dan duka. Para pemimpin desa dan kamp pengungsian mengatakan jumlah anak-anak perempuan yang dipertunangkan meningkat sejak kelaparan tahun 2018 dan melonjak pada tahun ini ketika hujan kembali tidak turun.
Ada lebih dari satu lusin keluarga pengungsi yang terpaksa menjual putri-putri mereka. Tetangga Fahima di tenda pengungsian, Sabehreh, berutang di toko kelontong untuk memberi keluarganya makan. Pemilik toko memperingatkan mereka akan dipenjara apabila hutang tidak dibayar. Untuk menutupi utang tersebut, keluarga sepakat menikahkan putri mereka Zakereh yang berusia tiga tahun dengan putra pemilik toko Zabiuallah yang berusia 4 tahun.
Para bayi itu tidak mengetahui masa depan mereka. Pemilik toko memilih sampai pasangan itu sudah sedikit besar sebelum ia merawat Zakereh.
"Saya tidak senang melakukan itu, tapi kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan atau minum. Jika ini terus berlanjut, kami harus menyerahkan anak kami yang berusia tiga bulan," katanya sambil duduk disamping bayinya yang tertidur di ayunan.