IHRAM.CO.ID, JAKARTA--PWNU Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram untuk cryptocurrency atau mata uang kripto pada pekan lalu. Fatwa tersebut merupakan hasil keputusan dari forum bahtsul masail di organisasi masyarakat Islam tersebut.
Namun sebenarnya para cendikiawan Islam dari banyak negara memiliki beragam pendapat terkait masalah ini. Beberapa pendapat dijelaskan Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi.
Menurutnya, ada ulama yang membolehkan karena menyamakan uang kripto dengan emas. Seperti diketahui proses produksi cryptocurrency sulit dan membutuhkan biaya yang besar.
“Tapi ada problem jika menyatakan kalau kripto itu disamakan dengan emas, karena nggak sepenuhnya tepat juga. Alasannya, cryptocurrency itu tidak memiliki wujud yang nyata, dia tidak memiliki nilai intrinsik. Beda dengan emas, yang kalau sejatuh-jatuhnya emas tetap dia punya nilai,” jelasnya kepada Republika.co.id, Jumat (29/10).
Ada juga ulama yang membolehkan karena menyamakan uang kripto dengan mata uang resmi. Karena cryptocurrency dianggap bernilai dan juga sudah dijadikan sebagai alat tukar seperti uang resmi.
“Pandangan ini sebenarnya dapat diterima, tetapi dengan catatan cryptocurrency diterbitkan oleh otoritas negara dan tidak berlaku di luar otoritas. Pandangan ini mengacu dari fuqoha (ahli fiqih) yang menyatakan pencetak uang, dirham dan dinar itu menjadi urusan negara, urusan imam,”tuturnya.
Ulama lain membolehkan mata uang kripto karena menganggapnya sebagai bagian dari sil’ah atau komoditas. Pandangan ini dikatakan Kiai Maafi sangat lemah dan bermasalah karena cryptocurrency dibentuk dari awal sebagai alat tukar dalam jual beli.
“Faktanya, meskipun disebut komoditi, sebagian orang menggunakannya sebagai alat tukar. Yang kedua, kalau disebut sil’ah itu bentuknya barang, sementara kripto nggak masuk karena nggak punya nilai intrinsik. Kripto juga mudah dipecah-pecah sementara komoditi sulit dipecah-pecah,”katanya.
Beberapa ulama juga menyebutnya boleh karena memandang kripto sebagai mata uang khusus yang digunakan dan disepakati untuk dijadikan alat tukar. Namun meskipun memiliki dua fungsi utama uang, kripto disebutnya tidak dikeluarkan dari otoritas negara yang berhak mengeluarkan mata uang. Apalagi risiko timbulnya mudorot dari penerbitan mata uang yang bukan bersumber dari negara.
“Yang menarik bahwa para fuqoha sepakat kalau di luar otoritas negara untuk menerbitkan mata uang tidak boleh. Namun pandangan ini harus dibaca ketika penerbitan tersebut nyata-nyata menimbulkan mudorot. Kalau nggak ada mudorot nggak apa-apa. Tapi kalau masih belum jelas, kita harus lihat bahaya atau tidak kalau misal kripto sebagai mata uang,”ujarnya.
Pandangan lain menyatakan, kripto dianggap sebagai hak maaliy atau hak finansial karena penambang kripto sudah berupaya keras mendapatkannya. Namun ini juga memiliki sanggahan karena harta kripto memiliki harga yang terlampau fluktuatif.
Dia menjelaskan, hal-hal baru yang timbul karena perkembangan zaman ini memang harus segera dipelajari dan diteliti, terutama cendikiawan islam. Semakin tinggi peminat mata uang kripto ini dikatakannya membuat pemerintah hingga cendikiawan Islam merespon dengan cepat.
Namun dari beragam pandangan yang ada, PBNU disebutnya masih membahas masalah ini lebih mendalam sebelum menghukumi secara resmi uang kripto ini. “Ala kulli hal, wallahu alam, tapi yang jelas ini masih perlu diskusi lebih lanjut,” terangnya.