IHRAM.CO.ID, Oleh: Mabruroh, Andrian Saputra, Alkhaedi Kurnialam
JAKARTA -- Pemerintah Prancis akan menutup asosiasi Muslim dan masjid yang dianggap menyebarkan atau terlibat aksi radikalisme. Dilansir surat kabar Le Figaro, Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengungkap, sebelum Undang-Undang Anti Separatisme diberlakukan, ada 650 tempat ditutup dan 24.000 tempat telah diperiksa karena terindikasi terlibat aksi ekstrimisme oleh polisi Prancis.
“Dari pemeriksaan yang dilakukan di 89 masjid sejak November 2020 atas tuduhan radikalisasi, sepertiga atau hampir 30 masjid telah ditutup. Ia menambahkan bahwa aparat tengah mengambil tindakan untuk menutup enam masjid lagi di Sarthe, Meurthe-et-Moselle, Cote. -d'Or, Rhone, dan wilayah Gard,”katanya.
Darmanin menyebut telah menentang pembangunan sebuah masjid bernama Eyup Sultan di Strasbourg, yang berafiliasi dengan Islamic Community National View (IGMG) meskipun ada persetujuan dari otoritas setempat. Sebelumnya lima asosiasi Muslim juga ditutup pemerintah Prancis karena dituding mempromosikan politik Islam.
Darmanin memastikan undang-undang separatisme memungkinkan pihaknya untuk melakukan lebih dari itu. Ia mengatakan akan ada total 10 asosiasi lainnya yang ditutup, dengan empat di antaranya ditutup pada Oktober. Tak hanya itu, rekening bank dari 205 asosiasi telah disita dan dua imam telah diusir.
“Kami menyebarkan teror di antara mereka yang ingin melakukan teror kepada kami,” kata Darmanin seperti dilansir Anadolu Agency.
Darmanin mengaku telah menginstruksikan para Gubernur untuk tak memperbaharui izin tinggal para tokoh yang telah diusir. Para tokoh yang telah diusir tidak akan dapat datang lagi ke Prancis.
"Mereka yang dihukum karena perdagangan narkoba dan kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa memperbarui izin tinggal,"kata dia.
Pemerintah Prancis, lanjutnya telah membatasi jumlah visa yang dikeluarkan untuk warga Aljazair, Tunisia, dan Maroko untuk memungkinkan negara-negara ini menerima kembali warganya yang dideportasi oleh Prancis.
Respons
Sejak pembunuhan guru Samuel Paty setahun yang lalu, Prancis telah menindak siapa pun yang dicurigai menyebarkan pandangan ekstremis. Polisi menggeledah Masjid di Allonnes, dekat kota Le Mans, karena sejumlah anggotanya terkait dengan gerakan paham radikal yang melegitimasi penggunaan jihad bersenjata, menyebarkan kebencian dan diskriminasi.Masjid tersebut merupakansekolah Alquran, yang dituduh sebagai tempat indoktrinasi karena mengajarkan jihad bersenjata kepada sekitar 110 siswa.
Darmanin menuliskan dalam jejaring sosialnya telah meminta pihak berwenang untuk menutup masjid, meskipun juru bicara pemerintah Gabriel Attal mengatakan keputusan akhir mengikuti prosedur hukum. Sementara akun dari dua asosiasi yang menjalankan masjid dibekukan pada awal Oktober, bersama dengan beberapa organisasi dan individu lain yang diduga termasuk menganut paham radikal.
Dalam sebuah wawancara pada September lalu, Darmanin mengatakan prosedur untuk menutup enam tempat ibadah sedang berlangsung, seiring dengan pembubaran beberapa organisasi di seluruh negeri. Polisi di Prancis timur menggeledah tempat sebuah masjid di pinggiran Strasbourg pada Selasa yang juga dalam prosedur untuk ditutup
Organisasi yang menjalankan kegiatan budaya di masjid Elsau, CIEL yang dituduh melakukan separatisme menerbitkan laporan polisi yang menunjukkan bahwa tidak ada yang memberatkan. “Prosedur ini, menurut kami, berasal dari agitasi politik yang bertujuan untuk membungkam dan meminggirkan para pemimpin kami yang menyebarkan kata partisipasi warga, jauh dari ekstremisme atau konformitas,” demikian sebuah pernyataan CIEL kepada media setelah pencarian.
“Agitasi politik dan stigmatisasi komunitas spiritual berkontribusi pada perpecahan masyarakat,” tulisnya di halaman Facebooknya , di mana mereka menyerukan demonstrasi untuk memprotes prosedur tersebut.
Kontroversi
Pada Agustus, otoritas konstitusional tertinggi Prancis menyetujui undang-undang “anti-separatisme” yang kontroversial yang telah dikritik karena menargetkan Muslim. RUU itu disahkan oleh Majelis Nasional pada bulan Juli, meskipun ada tentangan kuat dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri.
Pemerintah mengeklaim, undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis, tetapi para kritikus percaya bahwa undang-undang itu membatasi kebebasan beragama dan meminggirkan umat Islam. RUU tersebut telah dikritik karena menargetkan komunitas Muslim Prancis, yang merupakan komunitas Muslim terbesar di Eropa dengan 3,35 juta anggota, dan memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan mereka.
Undang-undang itu mengizinkan pejabat campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka serta mengontrol keuangan asosiasi yang berafiliasi dengan Muslim dan organisasi nonpemerintah (LSM). RUU itu juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat home schooling tunduk pada izin resmi.
Berdasarkan undang-undang, pasien dilarang memilih dokter mereka berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain dan "pendidikan sekularisme" telah diwajibkan bagi semua pegawai negeri. Prancis telah dikritik oleh organisasi internasional dan LSM, terutama PBB, karena menargetkan dan meminggirkan Muslim dengan hukum.