Selasa 23 Nov 2021 05:05 WIB

Tokoh Agama Jadi Benteng Kerukunan di Sulawesi Utara

Berbagai kearifan lokal menjadi pondasi kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara

Rep: Fuji E Permana/ Red: Esthi Maharani
Toleransi (ilustrasi)
Foto:

Kerukunan Jadi Warisan Sejarah

Dalam pandangan Ketua FKUB Sulut, Pendeta Lucky Rumopa, tokoh-tokoh agama memang memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan di Sulut. Tokoh-tokoh agama juga yang bisa meredam jika terjadi gejolak di tengah masyarakat.

Pendeta Lucky menceritakan, kerukunan antarumat beragama di Sulut sebenarnya telah terjalin sejak negara Indonesia belum lahir. Sekitar tahun 1828, Kiai Muslim Mochammad Khalifah atau Kiai Mojo diasingkan Belanda ke Minahasa di Sulut.

Dalam sejarahnya, Kiai Mojo menetap dan berdakwah sampai wafat di Sulut. "Ketika Kiai Mojo datang ke sini (Sulut) sudah bertemu dengan tokoh agama Kristiani," kata Pendeta Lucky.

Menurut Pendeta Lucky, wilayah Sulut dulunya menjadi tempat perjumpaan pedagang dari Arab, China dan masyarakat pribumi. Sehingga masyarakat lokal sudah terbiasa dengan kondisi sosial tersebut sejak dulu.

Masyarakat Sulut yang sudah terbiasa hidup rukun berdampingan dengan perbedaan yang ada melahirkan kearifan lokal yang disebut Mapalus. Mapalus adalah sebuah budaya kerjasama atau gotong royong.

Pendeta Lucky mencontohkan Mapalus, misalnya ketika hendak membuka lahan untuk kebun, masyarakat yang berbeda-beda agamanya melakukan upacara bersama, mereka membagi tugas-tugas beserta penjelasannya. Kemudian mereka bekerja sesuai tugasnya masing-masing.

"Sambil bernyanyi mereka bekerja bersama, nenek moyang kita kalau bekerja buka kebun, membangun rumah, membuat jalan, bersama-sama itu tanpa memandang dia dari mana, suku ras mana, budaya mana, karena perjumpaan budaya-budaya di Sulut sudah terjadi sejak lama sebelum kemerdekaan Indonesia," jelasnya.

Ia mengungkapkan, itu sebabnya ketika Kiai Mojo datang ke Minahasa, masyarakat setempat menerimanya. Meski mayoritas masyarakat Minahasa atau 80 persennya umat Kristiani, tapi mereka menerima kehadiran agama-agama dan budaya-budaya lain.

Ia menambahkan, sehingga di Sulut ada kampung Jawa, Arab, China, Portugis dan lain-lain. Hal ini menurutnya membuktikan Sulut sejak awal sudah menerima perbedaan yang ada. Perjalanan panjang kerukunan umat beragama yang terjalin dan terbangun di Sulut menjadi sebab lahirnya Bksaua sekitar tahun 1969.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement