IHRAM.CO.ID, TEL AVIV – Mantan kepala badan intelijen Israel (Mossad), Tamir Pardo, memperingatkan Israel menahan diri untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Kecuali Israel memang memiliki kapasitas menghancurkan mereka sepenuhnya.
Pardo menilai, serangan militer terhadap program nuklir Iran akan jauh lebih rumit daripada serangan sukses Angkatan Udara Israel terhadap reaktor Irak dan Suriah.
“Jika tidak mungkin menutup urusan ini seperti yang kita lakukan dalam Operasi Opera (melawan program nuklir Irak pada 1981), maka sebaiknya kita berpikir dua kali,” katanya saat berbicara di sebuah panel di Reichman University's Institute for Policy and Strategy, dikutip laman Middle East Monitor, Rabu (24/11).
Dalam panel tersebut, hadir pula mantan kepala Mossad lainnya, Amos Yadlin. Dia mengatakan, selama dekade terakhir, kebijakan Israel tentang program nuklir Iran diputuskan secara pribadi oleh mantan perdana menteri Benjamin Netanyahu, tanpa konsultasi. “Masalah Iran diprivatisasi untuk satu orang,” ucapnya.
Yadlin berpendapat, kesepakatan nuklir yang tercapai pada 2015, sebenarnya telah membuat Iran tak mencapai kemajuan berarti dalam program nuklirnya.
“Kesalahannya bukan pada 2015, tapi pada 2018 ketika mereka (Amerika Serikat) meninggalkan kesepakatan di tahun-tahun yang baik,” ujar Yadlin.
Sebelumnya Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett, telah mengisyaratkan kesiapan negaranya meningkatkan konfrontasi dengan Iran. Dia menegaskan, Israel tidak akan terikat dengan kesepakatan nuklir baru yang kini tengah dinegosiasikan Iran dan Amerika Serikat (AS).
Bennett mengungkapkan, saat ini Iran sudah berada pada tahap paling maju dalam program nuklirnya. Meski sebelumnya pernah mengatakan akan terbuka pada kesepakatan nuklir baru dengan pembatasan lebih ketat terhadap Iran, Bennett menekankan kembali otonomi Israel untuk mengambil tindakan terhadap musuh bebuyutannya tersebut.
Mengenai potensi keberhasilan Iran dan Amerika Serikat memulihkan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), Bennett menekankan Israel bukan pihak dalam perjanjian tersebut. “Israel tidak diwajibkan oleh kesepakatan itu,” ujarnya dalam sebuah konferensi pada Selasa (23/11), dikutip laman Al Araby.
Israel sebelumnya sudah menyuarakan penolakan saat pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan niatnya membawa kembali Amerika Serikat ke JCPOA. “Kami menghadapi masa-masa yang rumit. Ada kemungkinan bahwa akan ada perselisihan dengan teman-teman terbaik kami,” kata Bennett.